Langit senja menyelimuti Desa Gunung Raya di pedalaman Lampung dengan warna keemasan yang indah, tapi hati Mujiono tidak seindah pemandangan itu. Tubuhnya basah kuyup, sepatu penuh lumpur, dan keringat bercampur air sungai masih membasahi wajahnya. Di pundaknya, tas selempang kumal menggantung berat, seolah memikul beban yang lebih dari sekadar dokumen desa.
"Pak, kamu kenapa lama sekali?" suara lembut Wati, istrinya, menyambut di depan rumah panggung kecil mereka. Wati menyapu rambutnya yang lepek karena keringat sambil menatap suaminya dengan mata penuh kecemasan.
"Aku harus lewat jalan setapak yang lebih jauh, jembatan kayu di sungai ambruk tadi malam. Jalannya licin, hampir saja aku terpeleset," jawab Mujiono sembari melepaskan sepatu dan mencuci tangan di ember di bawah rumah.
Wati menghela napas panjang, menahan perasaan cemas yang sudah menggumpal sejak pagi. Sudah beberapa hari terakhir, pikirannya terus berkecamuk. Ia tahu Mujiono adalah pendamping lokal desa yang berdedikasi, bekerja tanpa lelah membantu warga mengelola dana desa dan mendampingi pelatihan keterampilan. Namun, hatinya dihantui satu kekhawatiran besar: suaminya belum memiliki sertifikat profesi sebagai pendamping profesional.
"Kamu nggak takut nanti kehilangan pekerjaan? Orang-orang di kantor bilang sekarang harus punya sertifikat untuk bisa lanjut, Pak," kata Wati dengan suara yang bergetar.
Mujiono menghentikan aktivitasnya, menatap Wati, dan menarik napas dalam-dalam. "Aku tahu, Bu. Tapi aku belum punya uang untuk ikut pelatihan itu. Aku nggak mungkin minta bantuan desa untuk sesuatu yang cuma buat kepentinganku sendiri. Aku ingin bantu mereka dulu, meski ini sulit."
Wati menunduk. Ia tahu suaminya keras kepala dalam hal prinsip, tapi hatinya tetap khawatir.
"Tadi di kantor TPP, aku bicara sama korcam," lanjut Mujiono, suaranya mulai melembut. "Katanya, ada uji kompetensi gratis dari kementerian. Tapi aku harus mendaftar sekarang juga."
"Kenapa kamu nggak bilang dari tadi, Pak?" Wati langsung bangkit. "Kita daftar sekarang! Kalau perlu, aku temani."
Mujiono tersenyum tipis. "Besok pagi aku mau ke kantor untuk mendaftar. Tapi ada satu hal lagi yang bikin aku cemas, Bu. Dana Desa bulan depan ada keterlambatan, sementara warga sudah menunggu proyek irigasi. Aku takut mereka kecewa."