Mohon tunggu...
Yasmine Agadia
Yasmine Agadia Mohon Tunggu... Lainnya - Nim 2003050058

Mahasiswi Universitas Maritim Raja Ali Haji

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menghapus Praktik Suap pada Pelaksaan Kampanye Kepala Daerah

10 Maret 2021   21:38 Diperbarui: 10 Maret 2021   21:40 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Menerima uang suap pada saat pelaksanaan kampanye kepala daerah

Saya Hani Putri Cahyadi dari Universitas STISIPOL RAJA AJI TANJUNG PINANG, ingin mengajukan pendapat saya mengenai "pilkada tahun 2020 kemarin"  seperti yang kita ketahui pemilihan kepala daerah yang berlangsung setiap 5 tahun sekali itu dilakukan untuk memilih pemimpin daerah yang pantas untuk memberi arahan, memimpin rakyat dengan bijak dan jujur. 

Di tengah era pandemi Covid-19, masyarakat akan memilih kepala daerah dalam pilkada serentak di Indonesia. Ada beberapa daerah yang akan melakukan pilkada tahun ini yang digelar di 270 daerah dan 9 provinsi,tepatnya ada 224 kabupaten dan 37 kota semua ini akan dilaksanankan secara serentak. 

Agar tidak terjadi kecurangan ada beberapa perartura yang harus di taati.salah satunya pada saat pencoblosan di TPS nanti nya. 

Di setiap TPS pasti ada penjagaan ketat yaitu di jaga polisi, di jaga hansip, dan ada juga orang dari bawaslu agar nantinya tidak ada keributan dari pendukung satu ke penduduk yg satunya dan slain itu juga ada saksi-saksi dari setiap calon bupati, gubernur, walikota fungsi para saksi-saksi di sana yaitu pada saat penghitungan suara nanti nya terlihat jelas dan tidak ada kecurangan sama sekali.

Namun walaupun ada pengawasan ketat sekalipun pasti tetap ada saja kepala daerah yang melakukan kecurangan pada saat pemilihan nanti. Awal-awalnya saja kepala daerah tersebut akan mengambil perhatian-perhatian masyarakat seperti merka akan belusukan ke rumah-rumah atau kedaerah-kedaerah dimana nantinya para calon-calon itu akan menjabat. 

Di situ nantinya disitu calon kepala daerah pasti akan bersosialisasi kepada masyarakat yang ada di sekitar lingkungan itu dan  juga akan memberi tahu apa visi misi dan tujuan calon kepala daerah tersebut kalau nantinya menjadi pemimpin. 

Selain itu pasti para calon-calon tersebut juga akan memberikan bantuan dana kepada masyaraka yang terkena musibah atau memberi bantuan dana kepada pembangunan-pembangunan selalin memberi dana uang bantuan calon kepala daerah juga pasti akan memberikan sembako seperti beras, minyak dan yang lainnya. Salah satu contoh nyatanya itu di tempat tinggal saya pada pemilihan bupati dan gubernur tahun 2020 kemarin. Calon-calon tersebut berlomba-lomba datang ke tempat daerah saya tinggal melakukan sosialisasi dan ada juga memberikan dana bantuan buat surau dan memberikan sebuah mobil ambulan.

namun yang saya lihat dari yang terjadi, hal itu tidak terlihat baik di Negara kita ini, pemilihan yang benar itu dinilai dari baiknya pemimpin tersebut, bagaimana responnya terhadap rakyat, bagaimana kesehariannya, dan juga apakah visi misi yang diberikan berbobot untuk kedepannya.

Namun yang sering terjadi sebelum pemilihan pemimpin itu ada yang namanya "serangan fajar" atau seperti contohnya dii iming imingi uang, agar memilih seorang ketua yang diminta, bagaimana bangsa bisa maju jika pemilihan pemimpin daerah saja sudah dilandasi dengan kecurangan? 

Saya bingung sekaligus heran, memang benar siapa sih yang nolak di kasih uang? Tapi tolong fikirkan kembali, berfikir soal kehidupan kedepannya, bagaimana negara bisa maju kalau dari pemilihan saja diawali dengan sogokan, bukan atas dasar penglihatan bahwa pemimpin tersebut adalah pemimpin yang berhak terpilih dan memimpin rakyat, melainkan karena keinginan untuk mendapat uang, hal yang harus difikirkan keras jangan mudah tergoyah karena dapat uang, uang bisa dicari.

Namun pemimpin yang benar hanya bisa terpilih dan terganti 5 tahun sekali, seharusnya kita bisa nilai, kalau dari awal saja sudah curang, apalagi nanti? 

Bisa saja memakan uang negara, bisa aja korupsi, bukannya kita menanam fikiran negatif, tapi apa salahnya berfikir soal hal yang terburuk akan terjadi, soal ketatnya pengawasan pada saat pemilihan mungkin sudah cukup.

Namun sebenarnya kejujuran dalam kampanye lebih di butuhkan, pengawasan agar tidak ada oknum oknum suruhan yang membagikan uang suap atau uang sogokan pada warga, karena adanya pemimpin itu bukan hanya sekedar nama.

Namun apa yang dilakukan untuk mengabdi kepada negara, yang di lakukan untuk memberi kemajuan untuk negara, itulah hal yang dibutuhkan, jujur saya sendiri mungkin bisa khilaf jika diberi uang di depan mata, namun apa yang saya fikirkan sekarang adalah daerah yang maju memerlukan pemimpin yang memiliki sifat kejujuran yang tinggi, usaha yang ditunjukkan bukan usaha mengeluarkan uang untuk terpilih.

Namun usaha yang berbentuk perbuatan, membuktikan apa yang di sebutkan dalam visi misinya, visi misi diciptakan untuk di wujudkam, bukan untuk memberi harapan palsu pada masyarakat yang pada akhirnya hanya dijadikan tulisan semata. 

Saya sendiri sebagai mahasiswi berharap agar kedepannya kegiatan yang di lakukan dalam kampanye itu adil, tunjukkan kualitas diri, bukan memberi uluran tangan tapi meminta timbal balik agar terpilih, mungkin menulis seperti ini tanpa adanya solusi itu percuma, sebenarnya solusi tersebut ada di dalam diri sendiri, jangan mau untuk menerima perintah melakukan hal yang tidak diinginkan, karena saya fikir jika pemerintah bersusah payah untuk mengawasi kampanye akan tetap saja.

Istilahnya tikus licik akan bisa masuk lubang mau sekecil apapun peluangnya, mungkin sulit untuk menanamkan ini kepada diri sendiri, tapi kalau tidak dimulai kapan hal ini dapat berubah? Jangan hanya mengeluh pada saat apa yang dijanjikan pemimpin tersebut tidak sesuai dengan realita, salah sendiri bukan? Salah memilih pemimpin karena tergiur dengan uang, ada beberapa kasus yang terjadi saat ini, pemimpin memakan uang negara, namun apa yang ia dapat setelah melakukan hal tersebut? 

Turun jabatan namun tidak untuk dihukum seberat beratnya, bagaimana bisa jera, jika hukuman yang di dapat saja hanya hukuman ringan, hukuman yang mungkin tidak menakutkan,. bahkan mereka bisa kembali lagi ke dunia politik setelah melakukan hal tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun