Jika kamu bersua dengan sahabat yang bersedih karena salah satu dari tiga sebab di atas, apalagi kalau akibat tiga-tiganya, berdirilah di sampingnya sebagai topang. Jika kamu bisa mencarikan jalan keluar, carikanlah. Jika sekadar mampu menjadi teman curhat, jadilah pendengar yang arif.
Kadang-kadang ketika sedang teramat sedih, kepala kita mumet dan pengar, bercerita saja dapat mengurangi beban.
Ada pula orang yang tengah merasa bagai telur di ujung tanduk mengobati rasa sedih, cemas, dan depresinya dengan menyakiti dirinya sendiri. Duka nestapa tak tertanggung lagi membuat orang itu dengan sengaja melukai dirinya. Bisa dengan pisau, beling, silet, menumbukkan kepala ke tembok, dan sebagainya.
Self-injury, begitu istilah psikologinya.
/2/
Pernahkah kamu melihat seseorang dengan serangkaian bekas luka di pergelangan tangan atau di bagian tubuh lainnya? Apakah kamu melontarkan ejekan atau menghakimi orang itu tanpa mengetahui siapa dia atau apa yang sedang dia alami? Mungkin kamu lakukan hal semenyakitkan itu.
Tidak bisa dimungkiri, dari sekian banyak gejala kondisi kesehatan mental, tindakan menyakiti diri sendiri adalah salah satu gejala yang paling sedikit dipahami dan paling tidak bisa menarik simpati. Itu sebabnya sering kali perilaku menyakiti diri sendiri ditanggapi dengan cara menghina, mengejek, bahkan melecehkan.
Padahal, kita tidak tahu mengapa seseorang melukai dirinya sendiri. Apakah arti melukai diri sendiri atau self-injury itu?
Sederhananya, Herpertz (1995) membabar definisi melukai diri sendiri atau self-injury sebagai perilaku yang disengaja, tanpa niat bunuh diri atau mengakhiri hidup, sehingga menimbulkan kerusakan langsung pada jaringan tubuh seseorang. Singkatnya, self-injury adalah perilaku menyakiti diri sendiri yang dilakukan secara sengaja dan tidak ditujukan untuk mengakhiri hidup.
Mengapa  bisa terjadi? Kegagalan dalam cinta, singkatnya putus cinta, adalah hal wajar yang dapat dialami oleh tiap-tiap individu dewasa awal. Masalahnya, papar J. W. Santrock (2021) dalam Life-Span Development, putus cinta dapat menjadi pengalaman traumatis, menyakitkan, dan melibatkan emosi yang intens.
Pengalaman putus cinta dan patah hati tersebut memantik munculnya emosi-emosi negatif, seperti rasa sedih berkepanjangan, rasa sakit secara emosinal, dan rasa kehilangan yang membuat hati terasa hampa.
Kemudian terbetik rasa tidak berharga, merasa dikhianati, rasa tidak pantas dicintai, dan takut nanti akan dikhianati lagi. Lalu datanglah perasaan stres, rasa kehilangan segalanya, takut tidak akan mendapatkan pasangan yang bisa memahami, rasa hampa dalam waktu yang cukup lama, rasa tidak berarti, dan perasaan sangat putus asa dan pesimis akan masa depan.