/11/
Saya takjub, sangat takjub. Ada orang kaya di Indonesia. Namanya Budi Hartono. Ia pemilik perusahaan rokok gede di Indonesia. Kekayaannya mencapai 175 triliun. Meskipun pemilik pabrik rokok besar, Pakde Hartono seumur hidup belum pernah merokok. Tepatnya, tidak pernah merokok.
Jangan-jangan Pakde Hartono tidak merokok karena ia takut jatuh miskin. Oh, jauhkan prasangka receh itu. Ia tidak mau merokok karena khawatir tidak bisa menikmati kekayaannya akibat bolak-balik konsultasi ke ahli paru.
/12/
Saya bangga, sangat bangga. Tepat beberapa menit setelah si bontot lahir, saya berhenti merokok. Benar-benar berhenti, sampai-sampai mencium asap rokok saja bisa membuat saya keleyengan. Apa motivasi yang membuat saya bisa berhenti merokok? Saya tidak mau si bontot menjadi perokok pasif.
Almarhum bapak saya kerap menuturkan kepada saya, saban membahas rokok dengan tetelan faedah dan kerugiannya, tentang keuntungan anak yang ayahnya tidak merokok.
Keuntungan memiliki ayah yang tidak merokok adalah (1) paru-paru lebih sehat karena asupan udara di rumah tidak dikotori asap rokok; (2) uang untuk membeli rokok beralih untuk membiayai pendidikan dan kebutuhan lain; (3) kemungkinan anak menjadi perokok mengecil karena ayahnya tidak merokok; dan (4) tidak butuh biaya berobat akibat merokok.
/13/
Saya berharap, benar-benar berharap, tetap berada di luar kitaran 70% warga Indonesia yang menyumbang 208.070.527.600 puntung, yang menyokong bibit penyakit bagi para perokok pasif, dan menjerumuskan anak-anak mereka dan anak-anak orang ke dalam ancaman penyakit.
Sementara itu, biarlah 70% warga Indonesia yang termasuk dalam kriteria perokok tertinggi di dunia tetap bersemangat menjadi pendonor cukai bagi negara, penyumbang dana bagi BPJS Kesehatan, penopang hidup jutaan petani tembakau, pendukung nasib dan keberlanjutan hidup buruh pabrik rokok, sekaligus pemasuk uang bagi bos-bos pabrik rokok yang sudah kaya raya.