Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Makan Siang Gratis Rp7.500, Makan Siang Pejabat Rp159.000

22 Juli 2024   03:45 Diperbarui: 22 Juli 2024   05:51 3095
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bukan menu program makan siang gratis (Foto: Flickr.com-Michael Stern) 

/1/

Semasa kampanye, program makan siang gratis ditaksir Rp25.000. Setelah menang, turun menjadi Rp15.000, lalu Rp9.000. Setelah mendekati pelantikan, syahdan turun lagi menjadi Rp7.500.

Lama-lama sisa Rp2.500. Itu cukup buat kaum 58% membeli pil sakit kepala.

Pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka semasa kampanye berjanji bahwa makan siang gratis mengutamakan "gizi" bagi anak-anak Indonesia. Tidak heran jika program unggulan pasangan pemenang Pilpres 2024 itu menarik minat 58% rakyat Indonesia memercayakan tampuk pimpinan bangsa kepada Prabowo dan Gibran.

Namun, apa hendak dikata. Dilantik saja belum, program makan siang gratis sudah menempuh jalan berliku. Dari semula anggaran dirancang sebesar Rp25.000, kini susut sangat jauh hingga Rp7.500.

Tatkala Debat Capres-Cawapres, dua pasangan Capres-Cawapres lain dengan tegas mempertanyakan konsep, perincian, dan tata cara pelaksanaan program maksitis (makan siang gratis). Maklum, jangan sampai menjadi program unggulan tatkala konsepnya masih amburadul.

Ndilalah, pasangan Prabowo-Gibran merasa "disakiti" dan "dimasak" oleh calon yang lain. Jadilah air mata mengalir, jadilah strategi sebagai "korban" dijual habis-habisan. Dan, pemilih di Indonesia seperti biasa mudah jatuh hati kepada sosok yang dianggap "disakiti". Sampai-sampai ada episode menangis berjemaah untuk membela pasangan Prabowo-Gibran.

Beberapa hari belakangan ini, program maksitis itu kembali santer dibincangkan. Menteri Airlangga menyebut anggaran maksitis dipangkas agas anggaran negara tidak defisit. Maka, tibalah para menteri pada angka Rp7.500. Menteri Muhadjir lantas menyebut biaya maksitis sebesar Rp7.500 sudah sangat besar di beberapa daerah.

Tidak mau ketinggalan, Gibran selaku Wapres terpilih turut berbicara soal besaran anggaran makan siang gratis (yang belum tentu bergizi lagi). Beliau yang baru saja mengangkut mainan-mainannya di Kantor Walikota Solo menjadikan India sebagai contoh. Menurut Gibran, anggaran makan siang gratis di India hanya menelah bea Rp1.500 per porsi.

Makin ruwet, makin rungsing.

Bayangkan jika menu makan siang gratis semenggiurkan ini (Foto: Shutterstock/Aris Setya) 
Bayangkan jika menu makan siang gratis semenggiurkan ini (Foto: Shutterstock/Aris Setya) 

/2/

Pada tahun ajaran 2023/2024, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi mencatat jumlah siswa tingkat sekolah dasar di Indonesia sebanyak 24,04 juta siswa.

Kemudian sebanyak 3,73 juta anak menjalani fase pendidikan di Taman Kanak-kanak (TK); sebanyak 2,44 juta anak pada Kelompok Bermain; sebanyak 1,6 juta anak pada Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat; dan sebanyak 614.033 anak pada Pendidikan Usia Dini (Paud).

Mari kita coba bermain kalkulator. Jika makan siang gratis Prabowo-Gibran itu diterapkan untuk siswa SD dan di bawahnya, berarti ada 29,98 juta siswa yang mesti mendapat jatah maksitis.

Kalau asumsi paket maksitis Rp7.500 per siswa per hari yang kita gunakan, berarti pemerintah membutuhkan anggaran sebesar Rp224,85 miliar per hari. Jika asumsi kita sama pada 5 hari sekolah, berarti anggaran maksitis mencapai Rp1,124 triliun per pekan.

Jadi, butuh kocek sebanyak Rp58,461 triliun dalam satu tahun masa pemerintahan. Jumlah itu masih jauh di bawah rencana anggaran per tahun untuk program maksitis sebesar Rp71 triliun. Kecuali, siswa SMP dimasukkan juga dalam calon penerima atau penikmat makan siang gratis.

Bagaimana dengan kesiapan bahan makanan yang akan digunakan untuk program maksitis tersebut? Idealnya, program jualan Prabowo-Gibran itu membutuhkan beras hingga 6,7 juta ton per tahun.

Jika menggunakan daging ayam, berarti butuh 1,2 juta ton daging ayam per tahun. Bagaimana kalau menggunakan daging sapi? Setidaknya, kita membutuhkan 500 ribu ton daging sapi per tahun. Belum lagi kebutuhan daging ikan yang ditaksir 1 juta ton per tahun. Makin detail apabila kebutuhan sayur mayur, buahbuahan, dan susu segar kita masukkan.

Beras menjadi bahan pokok yang paling "mencemaskan". Ya, ada sedikit harapan beras petani Indonesia akan terserap lebih banyak. Namun, terselip pula rasa cemas karena selama ini Indonesia terlalu bertumpu pada beras impor. Begitu juga dengan kebutuhan daging sapi. Salah-salah impor lagi.

Keadaan makin sengkarut apabila kita bertolak ke daerah-daerah. Patokan harga bahan pangan tidak bisa dipukul rata. Harga beras di Aceh berbeda dengan harga beras di Papua Pegunungan.

Belum lagi jikalau kita mau sedikit serius mempertanyakan (1) keamanan bahan makanan, (2) kandungan gizi, (3) ramah lingkungan, (4) kelezatan rasa makanan, (5) suasana makan siang yang menyenangkan, dan (6) program maksitis yang terintegrasi sebagian bagian dari pendidikan.

Sekarang, mari kita renung-renungkan infrastruktur sekolah-sekolah di negara kita. Apakah listrik, ketersediaan air, kebersihan dan kenyamanan kamar mandi, aliran udara yang menyegarkan, dan ruang makan siang sudah ada, siap, dan memadai? Apalagi jika pengelolaan program diserahkan pada masing-masing sekolah. Mari kita jujur melihat fasilitas dapur di tiap sekolah. Apakah sudah memadai untuk menjalankan program "dahsyat" itu?

Tunggu. Masih ada hal teknis yang mesti diperhatikan dengan saksama. Bagaimana sistem kontrol bahan makanan, tertutama soal keamanan dan kandungan gizi, siapa yang akan memasak dan apakah koki itu bisa menjamin mutu masakan, siapa pula yang akan memasok bahan makanan dan bagaimana pasokan dipastikan lancar atau tidak, serta bagaimana cara memantau pelaksanaan program.

Selanjutnya, kandungan gizi seperti apa yang ditargetkan untuk maksitis itu? Apakah sudah ditentukan jumlah protein, vitamin, kalsium, dan zat besinya? Apakah sudah dibahas kandungan lemak maksimal dan kebutuhan kalori siswa?

Apakah ahli gizi akan dilibatkan dalam pemantauan keamanan, kenyamanan, dan kandungan gizi maksitis? Apakah para pemasak mendapat pelatihan dulu sebelum menjalankan program?

Terakhir, apakah uang sebesar Rp7.500 sudah dapat mencukupi kebutuhan gizi yang ditargetkan? Oh, kecuali tidak ada target kandungan gizi apa-apa. Yang penting makan siang gratis. Mi instan sebungkus, telur sebutir, nasi dua kepal. Sedih!

Pertanyaan remeh di atas patut dilontarkan, bukan hanya oleh umat 58% yang memilih Prabowo-Gibran, sebab biaya pelaksanaan program bisa saja dirogoh dari pajak seluruh rakyat Indonesia, termasuk yang tidak tergolong dalam umat 58% itu.

Menggiurkan jika begini menu makan siang gratis (Foto: Flickr.com/Maurina Rara)
Menggiurkan jika begini menu makan siang gratis (Foto: Flickr.com/Maurina Rara)

/3/

Sekali lagi, rakyat tidak usah sibuk memikirkan kandungan gizi seperti apa yang terkandung dalam makanan seporsi dengan harga Rp7.500. Jika ada yang berkata "kritik melulu, kasih solusi", tidak perlu diladeni. Kita menggaji pemerintah agar mereka berpikir dan bekerja, bukan untuk menjawab "coba kasih solusi" atau "kembalikan kepada rakyat".

Lebih baik sekarang kita intip berapa biaya makan siang para pejabat negara, seperti menteri dan eselon satu. Bukan untuk dibanding-bandingkan dengan anggaran per porsi program makan siang gratis (yang belum tentu terjamin gizinya itu), bukan. Sekadar memenuhi rasa ingin tahu saja.

Urusan perut para menteri dan pejabat negara sudah diatur dengan baik dan saksama dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 49 Tahun 2023, mencakup estimasi yang akan diterima oleh aparat saat bertugas, termasuk saat menghadiri rapat.

Para aparat negara berhak atas jatah "uang lapar" dengan harga patokan tertinggi sebesar Rp159.000 per orang. Itu untuk sekali rapat. Uang konsumsi itu terbagi dua. Makanan berat maksimal Rp110.000, makanan ringan paling mahal Rp49.000.

Jika harga makanan beratnya mencapai Rp110.000, oh, jelas kandungan gizinya tidak perlu diragukan lagi. Apalagi ditambah kudapan seharga Rp49.000. Mantap sekali. Tempat makannya juga otomatis apik dan nyaman. Tidak mungkin di warteg dekat rumah penduduk Nusantara yang "jiwa miskinnya" gampang meneteskan air mata duka.

Meski begitu, rakyat tidak boleh marah. Para pejabat kita memang harus dilayani dengan baik. Termasuk, servis urusan perut. Bukan apa-apa, mereka bekerja mati-matian untuk menyejahterakan rakyat. Habis makan, mereka harus memikirkan nasib ratusan juta rakyat Indonesia yang "makan mi instan" saja sudah bersyukur.

Maka dari itu, jangan bandingkan harga makan siang gratis untuk siswa dengan harga makan siang pejabat. Jauh api dari panggang. Apalagi kalau membanding-bandingkan kandungan gizinya, wah, jauh kodok dari bulan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun