Pada tahun ajaran 2023/2024, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi mencatat jumlah siswa tingkat sekolah dasar di Indonesia sebanyak 24,04 juta siswa.
Kemudian sebanyak 3,73 juta anak menjalani fase pendidikan di Taman Kanak-kanak (TK); sebanyak 2,44 juta anak pada Kelompok Bermain; sebanyak 1,6 juta anak pada Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat; dan sebanyak 614.033 anak pada Pendidikan Usia Dini (Paud).
Mari kita coba bermain kalkulator. Jika makan siang gratis Prabowo-Gibran itu diterapkan untuk siswa SD dan di bawahnya, berarti ada 29,98 juta siswa yang mesti mendapat jatah maksitis.
Kalau asumsi paket maksitis Rp7.500 per siswa per hari yang kita gunakan, berarti pemerintah membutuhkan anggaran sebesar Rp224,85 miliar per hari. Jika asumsi kita sama pada 5 hari sekolah, berarti anggaran maksitis mencapai Rp1,124 triliun per pekan.
Jadi, butuh kocek sebanyak Rp58,461 triliun dalam satu tahun masa pemerintahan. Jumlah itu masih jauh di bawah rencana anggaran per tahun untuk program maksitis sebesar Rp71 triliun. Kecuali, siswa SMP dimasukkan juga dalam calon penerima atau penikmat makan siang gratis.
Bagaimana dengan kesiapan bahan makanan yang akan digunakan untuk program maksitis tersebut? Idealnya, program jualan Prabowo-Gibran itu membutuhkan beras hingga 6,7 juta ton per tahun.
Jika menggunakan daging ayam, berarti butuh 1,2 juta ton daging ayam per tahun. Bagaimana kalau menggunakan daging sapi? Setidaknya, kita membutuhkan 500 ribu ton daging sapi per tahun. Belum lagi kebutuhan daging ikan yang ditaksir 1 juta ton per tahun. Makin detail apabila kebutuhan sayur mayur, buahbuahan, dan susu segar kita masukkan.
Beras menjadi bahan pokok yang paling "mencemaskan". Ya, ada sedikit harapan beras petani Indonesia akan terserap lebih banyak. Namun, terselip pula rasa cemas karena selama ini Indonesia terlalu bertumpu pada beras impor. Begitu juga dengan kebutuhan daging sapi. Salah-salah impor lagi.
Keadaan makin sengkarut apabila kita bertolak ke daerah-daerah. Patokan harga bahan pangan tidak bisa dipukul rata. Harga beras di Aceh berbeda dengan harga beras di Papua Pegunungan.
Belum lagi jikalau kita mau sedikit serius mempertanyakan (1) keamanan bahan makanan, (2) kandungan gizi, (3) ramah lingkungan, (4) kelezatan rasa makanan, (5) suasana makan siang yang menyenangkan, dan (6) program maksitis yang terintegrasi sebagian bagian dari pendidikan.
Sekarang, mari kita renung-renungkan infrastruktur sekolah-sekolah di negara kita. Apakah listrik, ketersediaan air, kebersihan dan kenyamanan kamar mandi, aliran udara yang menyegarkan, dan ruang makan siang sudah ada, siap, dan memadai? Apalagi jika pengelolaan program diserahkan pada masing-masing sekolah. Mari kita jujur melihat fasilitas dapur di tiap sekolah. Apakah sudah memadai untuk menjalankan program "dahsyat" itu?
Tunggu. Masih ada hal teknis yang mesti diperhatikan dengan saksama. Bagaimana sistem kontrol bahan makanan, tertutama soal keamanan dan kandungan gizi, siapa yang akan memasak dan apakah koki itu bisa menjamin mutu masakan, siapa pula yang akan memasok bahan makanan dan bagaimana pasokan dipastikan lancar atau tidak, serta bagaimana cara memantau pelaksanaan program.