Maka, alangkah mengenaskan jikalau mencintai atau bersahabat dengan orang yang toksik. Kenapa mengenaskan? Ini udarannya.
- Dia yang meremehkan kehadiranmu. Orang toksik niscaya merendahkan pendapat, mimpi, atau pencapaianmu. Jangankan mendapat dukungan, diacungi jempol atas jerih payahmu saja tidak pernah. Orang toksik ingin terus didukung, tapi enggan mendukung pasangan atau temannya.
- Dia yang selalu mendominasi. Hubungan berjalan timpang. Kendali satu arah. Hal itu terjadi karena orang yang toksik selalu ingin menang sendiri. Mau diskusi serius mau debat ringan, harus dia yang menang. Boro-boro mendengarkan perspektif kamu, menanyakan "bagaimana perasaanmu" pun tidak pernah. Relasi kuasa timpang.
- Dia yang posesif. Orang yang toksik selalu ingin mengetahui ke mana saja kakimu melangkah, mengendalikan hidupmu, menentukan apa yang boleh dan tidak boleh kamu pilih, dan membatasi interaksi kamu dengan orang lain. Hubungan yang tidak sehat. Kamu terkekang, kehilangan kebebasan, hak asasi yang kaudapatkan semenjak lahir.
- Dia yang memperlakukan kamu dengan kasar. Orang yang toksik tidak akan menghargai upaya, kontribusi, atau prestasi pasangan atau temannya. Kamu ada sebatas untuk memperhatikan upaya, kontribusi, dan prestasinya. Tiada waktu untuk membahas apa yang mau kauraih atau apa yang sudah kaucapai. Dia menuntut agar selalu dihargai, tetapi tidak mau menghargai.
- Dia yang hanya ingin memanfaatkan kebaikanmu. Orang toksik hanya memanfaatkan kebaikan dan kemurahan hatimu. Jika butuh sesuatu dan ia tahu kamu mempunyai apa yang dia butuhkan, dia akan meminta bantuan kepadamu. Giliran kamu yang meminta bantuannya, dia punya bejibun dalih untuk menghindar darimu.
Jika bertemu atau berteman dengan orang seperti itu, kamu boleh dan berhak kecewa. Kamu bisa melampiaskan kekecewaan itu. Tidak ada larangan. Lakukan saja. Jika dengan berteriak rasa kecewamu bisa hilang, berteriaklah sekencang-kencangnya. Jauh lebih baik melampiaskan atau meluapkan kekecewaan daripada menahan dan menimbunnya di dalam hati.
Jika terus memendam kecewa, lama-lama kamu akan makan hati.
Ketika kamu menghadapi rasa kecewa, biarkan hatimu merasakannya. Biarkan. Tidak usah menyalahkan dirimu, menganggap dirimu sebagai biang kekecewaan, dan hanyut dalam kekecewaan yang berlarut-larut.
Kamu tidak perlu menghakimi dirimu dengan mengatakan "ah, lemah!".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H