Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

IKN seperti Menjaring Angin, Terasa Ada Tertangkap Tidak

18 Juli 2024   11:33 Diperbarui: 18 Juli 2024   11:35 482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rancangan Kantor Presiden, Istana Negara, dan Lapangan Upacara IKN (Foto: Dokumentasi Kementerian PUPR BPPW Kaltim)

/1/

Presiden Joko Widodo pasrah. Beliau tidak ingin memaksakan diri. Beliau meminta agar rakyat Indonesia tidak berharap terlalu banyak. Mustahil pindah kantor dari Jakarta ke Kota Nusantara. Benar-benar mustahil. Hujan deras.

Dengan begitu, batal sudah rencana berkantor di Kota Nusantara per Juli 2024. Tidak bisa. Air susah, listrik pelik, gedung sepertinya belum diplester. Jelas tidak mungkin seorang presiden berkantor di istana yang pengerjaannya baru 15%.

Maka, Menteri Keuangan tidak perlu mempersiapkan baju adat untuk Upacara 17-an di Kota Nusantara. Menteri PUPR juga begitu, tidak usah mencari baju adat apa yang khusus dipakai di ibukota negara yang baru saat upacara kemerdekaan.

Bagi pejabat yang sudah telanjur membeli tiket ke Kalimantan Timur, batalkan saja sejak sekarang. Mana tahu bisa dapat pengembalian uang sekalipun ada potongan. Tidak apa-apa. Daripada uang hangus begitu saja lebih baik uang tiket ditarik lagi.

Rakyat tidak boleh gagal paham. Rakyat harus angkat jempol. Bagaimanapun, kita mesti salut pada kegigihan Presiden Jokowi mempersiapkan IKN. Syukur-syukur sekarang sudah 15%, mana tahu 85% bisa rampung sebelum presiden baru dilantik.

Memang bisa?

Loh, rakyat mesti selalu berpikir positif. Tidak boleh menebar energi negatif. Tebaran energi negatif dapat memancing pejabat gelap mata, lalu misuh-misuh tidak jelas, padahal tabiat begitu bisa membuat kedamaian petinggi negara terganggu.

Rakyat tidak boleh gagal paham. Presiden Jokowi dan para pembantunya tengah mempersiapkan yang terbaik. Apa pun caranya, bagaimanapun teknisnya, IKN mesti jadi. Tidak boleh buntu, apalagi mangkrak.

Tidak heran jika Presiden Jokowi terus gigih memasarkan IKN. Tanah-tanah di sana sampai "disewakan" dengan murah dan mudah. Jangkanya lama pula. Mana ada negara di dunia ini yang mempersiapkan lahan bagi investor untuk HGU selama 190 tahun. 

Itu bukti keseriusan (jangan dibaca: ketengilan) Presiden Jokowi.

/2/

Pada 1865, Menteri Negara Jajahan Frans van de Putte mengajukan Rancangan Undang-Undang Agraria ke parlemen Belanda. Dalam RUU terdapat aturan hak Gubernur Jenderal untuk memberikan Hak Guna Usaha (erfpacht) selama 99 tahun kepada pihak swasta yang ingin mengelola tanah di Hindia Belanda.

Frans van de Putte juga mengusulkan agar tanah hak yang dikuasai atau dikelola oleh bumiputra (pribumi) akan diakui sebagai hak milik atau eigendom. Tanah komunal yang dapat pula diubah statusnya menjadi tanah milik (eigendom).

Parlemen Kerajaan Belanda menolak usulan itu. Anggota parlemen, terutama yang liberal seperti Thorbecke, sontak menentang usulan Menteri Negara Jajahan itu. Malahan, kedudukan van de Putte digoyang. Tidak lama kemudian, van de Putte diberhentikan dari jabatan Menteri Negara Jajahan.

Engelbertus de Waal dilantik menjadi Menteri Negara Jajahan Hindia Belanda yang baru. Ia setali tiga uang dengan van de Putte. Hanya saja, lama hak guna usaha di dalam usulan de Waal berkurang menjadi 75 tahun.  

Cornelis van Vollenhoven, dalam buku De Indonesier en Zijn Ground (2013: 166--167), menyatakan bahwa prinsip-prinsip yang ditetapkann dalam UU Agraria Hindia Belanda (Agrarische Wet 1870) hanya berlaku di Jawa dan Madura.

Belanda, selaku negara penakluk Nusantara, sesuka hati membagi-bagikan tanah di negara taklukannya. Investor dari Belanda dan Eropa berdatangan membuka usaha perkebunan di Hindia Belanda. Tanah dihak-guna-usakahan selama 75 tahun.

Itu pada masa penjajahan. Setelah Indonesia merdeka, setelah Indonesia memiliki UU Agraria sendiri, setelah Presiden Jokowi berusaha menggenjot pembangunan Kota Nusantara, tanah dihak-guna-usakahan selama 190 tahun. Investor bisa punya kuasa usaha atas tanah, dilimpahkan kepada cucunya, lalu cicitnya, dan seterusnya.

Sungguh, demi mimpi memindahkan ibukota negara, tanah diobral ke sana sini. Segala cara dilakukan oleh Presiden Jokowi. Salut!

/3/

Ibukota Nusantara yang semula digadang-gadang akan digunakan mula-mula pada Upacara Kenegaraan 17 Agustus 2024, ternyata meleset. Alih-alih dipakai upacara, pengerjaannya saja baru 15%. Butuh 15 hingga 20 tahun lagi baru kelar. Itu kata Presiden Jokowi.

Itu juga kalau presiden-presiden berikutnya meneruskan proyek "mimpi luhur" itu. Jika presiden-presiden berikutnya enggan meneruskan, IKN akan menjadi "kota hantu". Pembangunan ibukota baru mangkrak.

Pada satu sisi, Presiden Jokowi punya mimpi luhur agar Indonesia punya ibukota yang baru. Jakarta sudah sumpek. Mimpi luhur itu pun digenjot habis-habisan. Dan, kini uang negara makin seret. Biaya pembangunan makin susut. Pemegang otorita mundur seorang-seorang. Investor yang dibesar-besarkan ternyata tidak muncul.

Sia-sia menjaring angin, terasa ada tertangkap tidak. Itu kata peribahasa yang pas diagihkan oleh rakyat kepada Presiden Jokowi. Bukan sebaliknya, disodorkan oleh Presiden Jokowi kepada rakyat.

Peribahasa itu berarti "jangan mengharapkan sesuatu yang bukan-bukan supaya tidak kecewa". Sejak awal rakyat tidak terlalu antusias atas pembangunan ibukota Nusantara. Uang triliunan itu, syahdan, amat banyak andaikan digunakan untuk memperbaiki atau membangun ulang sekolah-sekolah dasar yang sudah reyot.

Pada peribahasa di atas, kata sia-sia berarti 'tidak ada gunanya'. Atau, 'percuma'. Adapun menjaring angin berarti 'menangkap angin dengan menggunakan jaring'.

Sementara itu, terasa ada berarti kita dapat merasakan keberadaan angin, rambut kita bergerak karena tertiup angin, wajah kita segar karena tertiup angin, atau kita menenangkan hati dengan berangin-angin. Adapun tertangkap tidak berarti tidak dapat ditangkap.

Angin bukan benda yang bisa kita jaring. Berbeda dengan ikan atau udang yang dapat kita jaring manasuka. Kita merasakan keberadaan angin, tetapi tidak terlihat oleh kita.

Jadi, bagaimana kita bisa menjaring angin? Apa yang akan kita lakukan jika ingin menjaring angin? Di mana kita menjaring angin? Sungguh buang-buang waktu jika kita melakukannya. Tiada guna. Sia-sia. Ujung-ujungnya kecewa belaka.

Menjaring angin itu tiada berbeda dengan mengharapkan ibukota Nusantara kelar. Pada saat seperti ini, kita jelas mengharapkan yang bukan-bukan. Macam berpanjang angan-angan. Macam berharap mukjizat datang. Macam menjaring angin. Sia-sia belaka. Ujung-ujungnya, kecewa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun