/2/
Apakah tidak ada penduduk Argentina yang berkulit hitam?
Tidak juga. Dahulu kala, pada kitaran abad 16, kota Rio de la Plata (sekarang kita kenal dengan nama Buenos Aires), merupakan kota pusat perdagangan budak dari Afrika. Malahan Erika Edwards, dalam buku Slavery in Argentina, menyatakan bahwa aktivitas perdagangan budak itu masih berlanjut hingga abad ke-18.
Selama masa kolonial hingga akhir abad 18, sekitar 200.000 tawanan dari Afrika berlabuh di tepi sungai Ro de la Plata. Tidak heran jika banyak sejarawan menyebut pada masa itu sepertiga warga Argentina adalah orang berkulit hitam.
Lalu, bagaimana caranya sehingga jumlah warga Argentina yang berkulit hitam menyusut?
Mitos Perang Kemerdekaan Argentina, 1810--1819, bisa menjadi alasan. Penduduk laki-laki yang berkulit hitam dikirim ke garis depan medan perang. Iming-iming dimerdekakan membuat warga Afro-Argentina berani terjun ke medan juang.
Maka, jadilah mereka "makanan meriam" atau "santapan pelor" pasukan kolonial Spanyol. Korban jiwa berjatuhan selama perang sepanjang abad ke-19. Seperti yang dibabarkan oleh sejarawan George Reid Andrews, dalam The Afro-Argentines of Buenos Aires, 1800--1900, banyak yang mangkat di medan perang dan banyak pula yang mengungsi ke negara tetangga, seperti Peru.
Akibat penduduk laki-laki berkulit hitam makin berkurang, muncullah mitos yang kedua, yaitu penduduk perempuan yang berkulit hitam terpaksa menikah atau tinggal seatap dengan warga laki-laki yang berkulit putih dari Eropa.
Perkawinan campuran atau pernikahan antarras itu menjadi pemantik kian susutnya populasi penduduk Argentina yang berkulit hitam. Secara biologis, populasi yang muncul didominasi orang berkulit putih. Secara politis, perempuan berkulit hitam menjadi korban rezim represif yang mendikte hampir seluruh aspek hidup mereka.