Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kita, Dunia Maya, dan Kekerasan Virtual

30 Juni 2024   03:59 Diperbarui: 30 Juni 2024   08:11 796
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mahabenar netizen dengan segala komentarnya.

Beberapa tahun lalu, kalimat pembenaran atas perilaku virtual warganet kerap muncul atau melintas di pelbagai platform media sosial. Kalimat itu selintas terlihat satire dengan cemooh keras kepada netizen pemuja nyinyirisme, tetapi sepintas tampak sebagai kritik keras kepada kawanan warganet yang merasa paling atau selalu benar, serta paling atau selalu tahu.

Ketika Timnas Indonesia U-23 akhirnya kandas di semifinal Piala Asia U-23, serangan siber terhadap pemain alangkah gencar. Kekalahan itu membuat kulit kesabaran kita sobek-sobek, batin nasionalissme kita terluka, bahkan jantung emosi kita seketika meledak-ledak.

Kekerasan verbal sontak menjadi pilihan sebagai obat untuk mendinginkan panas hati, yakni dengan mengumpat dan mencaci pemain. Marselino langsung dikorbankan. Tidak layak jadi pemain timnas; bocil pemuja egoisme; individualis sejati. Macam-macam olokan mencuat di media sosial, seolah-olah warganet mendapat hak untuk menghakimi Marselino.

Ketika Gibran akhirnya disunting Prabowo untuk berduet dalam pilpres lalu, terlepas dari sangkaan telikung demokrasi banyak pihak, kontan membuat netizen merasa berhak untuk menghukum Gibran dengan kekerasan verbal. Nama putra sulung Presiden Jokowi berubah menjadi Samsul. Malahan, Belimbing Sayur.

Sungguh, kelakuan barbar netizen menguasai mayantara atau ruang maya. Dunia siber sebagai kota virtual yang bisa ditempati atau didiami oleh siapa saja menjadi rentan kekerasan dan rawan vandalisme. Warganet berlindung di balik dalih "mahabenar netizen dengan segala komentarnya".

Celakanya, kita menjadi bagian dari entitas siber yang terbiasa berkomentar "sekehendak udel" atau "seenak bokong" itu.

Kita sekarang tumbuh dan berkembang di dalam lingkungan interaktif yang penuh kekerasan. Warganet tidak hanya melihat kekerasan, tetapi sekaligus melakukan kekerasan. Itu semua terjadi di media interaktif dan noninteraktif.

Kampung virtual, seperti permainan video (video game), menyuguhkan kekerasan virtual. Netizen yang terlibat sebagai aktor (pemain) menjadi intim dengan kekerasan verbal. Sambil main, mereka teriakkan kata-kata seperti setan, anjing, atau bunuh bangsat.

Media noninteraktif, seperti televisi, menyajikan tontonan yang minim tuntunan. Adegan kekerasan menjadi sesuatu yang lazim dipertunjukkan, tidak peduli pada pukul berapa adegan kekerasan itu ditayangkan.

Tak seorang pun merasa bersalah ketika menendang batu hanya karena kesenangan semata, tetapi melakukan hal yang sama kepada anak-anak sekalipun dilarang secara universal. Apa bedanya? (Pizarro dkk., 2006).

Apakah seseorang harus atau tidak boleh terlibat dalam perilaku kekerasan? Itu pertanyaan etik. Kekerasan, dalam berbagai perspektif budaya kesukuan di Nusantara, selama ini masih dianggap sebagai masalah etika.

Dalam kehidupan bermasyarakat, kekerasan--apa pun bentuknya, termasuk kekerasan visual--masyarakat mengembangkan norma-norma yang menguraikan tentang kekerasan apa yang boleh dilakukan dan dibernarkan serta kekerasan yang tidak boleh dilakukan.

Begitu pula dalam kehidupan bernegara. Banyak negara yang menganut nilai-nilai, bahkan undang-undang, yang memastikan tentang kekerasan apa yang sah atau dibenarkan serta kekerasan apa yang ilegal atau tidak dapat dibenarkan.

Sepintas, kita mungkin menduga bahwa norma-norma dan undang-undang tentang kekerasan tersebut semuanya bertujuan untuk melindungi calon korban dari tindakan yang merugikan. Padahal, tidak begitu, sebab norma-norma tentang kekerasan tidak hanya melindungi calon korban, tetapi sekaligus melindungi calon pelaku.

Dari perspektif normatif yang menghargai lingkungan yang stabil dan aman, kehidupan yang penuh kebajikan, dan minimalisasi rasa sakit, kekerasan dapat juga merugikan pelaku karena memperkuat karakteristik kepribadian disfungsional atau, bahkan, patologis (Berkowitz, 1993).

Nahasnya, kekerasan visual dan kekerasan verbal itu sudah mewarnai kanvas demokrasi kita. Pemilu yang selama ini kita anggap sebagai "pesta demokrasi rakyat" berubah menjadi "ajang sabung konten negatif".

Pendukung calon A menyerang calon B, begitu pula sebaliknya. Caci menjadi atribut budaya. Olok-olok menjadi propaganda politik. Kampanye hitam menjadi bagian vital dari srategi pemenangan. Mau halal mau haram dijabani semuanya asalkan kandidat usungan terpilih.

Kita tidak menyadari bahwa kekerasan virtual--boleh kita sebut kekerasan digital, boleh pula kita nama kekerasan visual--adalah tindakan kekerasan yang dilakukan oleh satu atau lebih individu yang dilakukan, dibantu, diperburuk, dan diperkuat sebagian atau seluruh warganet.

Kekerasan verbal yang cenderung tidak dapat dibendung oleh dunia digital bisa membunuh perempuan, remaja perempuan, dan anak-anak di ruang luring. Risakan siber bisa meresap ke dalam kehidupan mereka sehari-hari, menginfeksi kesejahteraan psikologis dan fisik mereka, kemudian mengakibatkan paranoia, rasa malu, dan isolasi. Bahkan, menyebabkan kematian melalui pembunuhan demi kehormatan, pembunuhan, dan bunuh diri.

Entah sampai kapan kita bisa menghentikan tabiat barbar, berupa kekerasan visual dan verbal, di dunia siber. Entah sampai kapan.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun