Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kita, Dunia Maya, dan Kekerasan Virtual

30 Juni 2024   03:59 Diperbarui: 30 Juni 2024   08:11 524
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam kehidupan bermasyarakat, kekerasan--apa pun bentuknya, termasuk kekerasan visual--masyarakat mengembangkan norma-norma yang menguraikan tentang kekerasan apa yang boleh dilakukan dan dibernarkan serta kekerasan yang tidak boleh dilakukan.

Begitu pula dalam kehidupan bernegara. Banyak negara yang menganut nilai-nilai, bahkan undang-undang, yang memastikan tentang kekerasan apa yang sah atau dibenarkan serta kekerasan apa yang ilegal atau tidak dapat dibenarkan.

Sepintas, kita mungkin menduga bahwa norma-norma dan undang-undang tentang kekerasan tersebut semuanya bertujuan untuk melindungi calon korban dari tindakan yang merugikan. Padahal, tidak begitu, sebab norma-norma tentang kekerasan tidak hanya melindungi calon korban, tetapi sekaligus melindungi calon pelaku.

Dari perspektif normatif yang menghargai lingkungan yang stabil dan aman, kehidupan yang penuh kebajikan, dan minimalisasi rasa sakit, kekerasan dapat juga merugikan pelaku karena memperkuat karakteristik kepribadian disfungsional atau, bahkan, patologis (Berkowitz, 1993).

Nahasnya, kekerasan visual dan kekerasan verbal itu sudah mewarnai kanvas demokrasi kita. Pemilu yang selama ini kita anggap sebagai "pesta demokrasi rakyat" berubah menjadi "ajang sabung konten negatif".

Pendukung calon A menyerang calon B, begitu pula sebaliknya. Caci menjadi atribut budaya. Olok-olok menjadi propaganda politik. Kampanye hitam menjadi bagian vital dari srategi pemenangan. Mau halal mau haram dijabani semuanya asalkan kandidat usungan terpilih.

Kita tidak menyadari bahwa kekerasan virtual--boleh kita sebut kekerasan digital, boleh pula kita nama kekerasan visual--adalah tindakan kekerasan yang dilakukan oleh satu atau lebih individu yang dilakukan, dibantu, diperburuk, dan diperkuat sebagian atau seluruh warganet.

Kekerasan verbal yang cenderung tidak dapat dibendung oleh dunia digital bisa membunuh perempuan, remaja perempuan, dan anak-anak di ruang luring. Risakan siber bisa meresap ke dalam kehidupan mereka sehari-hari, menginfeksi kesejahteraan psikologis dan fisik mereka, kemudian mengakibatkan paranoia, rasa malu, dan isolasi. Bahkan, menyebabkan kematian melalui pembunuhan demi kehormatan, pembunuhan, dan bunuh diri.

Entah sampai kapan kita bisa menghentikan tabiat barbar, berupa kekerasan visual dan verbal, di dunia siber. Entah sampai kapan.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun