Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Polisi, Kekerasan, dan Tragedi Afif Maulana

25 Juni 2024   14:32 Diperbarui: 25 Juni 2024   14:52 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mobil polisi (Sumber: peakpx.com)

Afif Maulana namanya. Ia mati muda. Mati saat masih berusia 13 tahun. Ia mati dengan beberapa tulang rusuk yang patah. Syahdan, ia mati gara-gara disiksa oleh puluhan polisi.

Kematian Afif, diduga karena ulah polisi tersebut, tak pelak lagi menjadi sorotan warganet. Publik tahu, polisi adalah "pelayan masyarakat". Di mana-mana, tugas utama semua orang yang berstatus "pelayan" adalah "bertugas melayani".

Jadi, "pelayan masyarakat" berarti "orang yang bertugas melayani masyarakat". Bukan penyiksa masyarakat, apalagi pembunuh masyarakat. Masyarakat, walaupun sering dikecewakan polisi, tetap berharap hak hidupnya dilindungi oleh polisi.

Setakat saat ini, tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian bukanlah hal yang baru. Dalam hal kekerasan, polisi memang punya kekebalan khusus. Ketika menjalankan kewajiban institusi untuk menjaga ketertiban, polisi memiliki "kekebalan hukum" melakukan kekerasan.

Hanya saja, kekerasan itu dilakukan dalam skala yang terukur, melalui fase yang tertata, dan tetap memedulikan hak asasi manusia. Singkatnya, polisi tidak boleh secara sewenang-wenang melakukan kekerasan.

Apa Itu Kekerasan

Mari kita ulik dulu definisi kekerasan. Arti kekerasan adalah "setiap tindakan yang dengan sengaja menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang parah, baik fisik maupun mental, pada seseorang" (Linda Valerian, 1955).

Berbicara tentang kekerasan, definisi Elizabeth Stanko sering dikutip atau dinukil. Kekerasan, kata Stanko, adalah "segala bentuk perilaku individu yang dengan sengaja mengancam atau menyebabkan kerugian fisik, seksual, atau psikologis terhadap orang lain atau diri mereka sendiri" (Stanko, 2001).

Coady (1986) benar ketika ia mengingatkan kita bahwa pemahaman normal atas istilah 'kekerasan' adalah "tindakan pemaksaan antarpribadi, biasanya melibatkan tindakan melukai fisik", yang menunjukkan bahwa konsep kekerasan tidak dapat dipahami secara independen yang terpisah dari konsep kekuatan dan pemaksaan.

Kekerasan sangat dekat juga dengan kekuatan dan kekuasaan. Pada Kamus Bahasa Inggris Oxford, kekerasan didefinisikan sebagai "penggunaan kekuatan fisik untuk melukai atau menyebabkan kerusakan pada seseorang atau harta benda".

Oleh karena itu, kekerasan jelas-jelas merupakan tindakan pelanggaran. Jika ada yang bertanya "pelanggaran terhadap apa", jawabannya adalah "pelanggaran hak". Ketika seseorang melakukan kekerasan terhadap orang lain, pada saat yang sama orang itu sedang melanggar hak orang lain untuk hidup aman dan nyaman.

Jika masih bertanya lagi soal "hak apa saja yang dilanggar", jawabannya pun dapat kita lontarkan secara tegas, yakni pelanggaran atas hak pribadi atau hak-hak yang penting bagi kepribadian. Hak itu, menukil pemikiran Garver (1973), mengacu pada tubuh dan martabat seseorang.

Jamil Salmi (1993) memaknai kekerasan sebagai 'tindakan pelanggaran hak asasi manusia atau menghalangi terpenuhinya kebutuhan dasar manusia'. Tidak heran jika Salmi menegaskan bahwa setiap kali manusia kelaparan atau kekurangan gizi karena alasan sosial atau politik, kita bisa menganggap mereka sebagai korban kekerasan sosial.

Nahasnya, hampir semua tindakan kekerasan dapat dikatakan melanggar hak-hak seseorang sehingga kekerasan menjadi sesuatu yang tidak ada artinya. Tindakan kekerasan tidak lebih dari perbuatan yang sia-sia.

Apabila kekerasan adalah pelanggaran terhadap seseorang atau hak-hak seseorang maka setiap kesalahan sosial adalah tindakan yang disertai kekerasan, kejahatan terhadap orang lain merupakan kejahatan yang disertai kekerasan, dosa terhadap sesama merupakan tindakan kekerasan (Joseph Betz, 1977).

Bagaimana dengan Kekerasan Polisi?

Polisi, lembaga legal dan sah yang memiliki kewenangan penegakan hukum, sudah lama sangat akrab dengan kekerasan. Kegagalan tiap anggota Polri menjaga dan menahan diri dari tindakan kekerasan membuat kepercayaan masyarakat terhadap Polri makin tipis dan rentan.

Celakanya, Polri yang seharusnya memberikan rasa aman kepada masyarakat justru menjadi aktor yang melakukan kekerasan terhadap masyarakat sipil. Itulah bukti polisi, sebagai aparat penegak hukum, memperlihatkan kondisi "ketidakmauan" (unability) atau sikap ketidakmampuan (unwillingness). Dan, itu berbahaya.

Oknum polisi membanting mahasiswa. Brigadir NP, personel polisi dari Polresta Tangerang, pada 13 Oktober 2021 membanting mahasiswa berinisial FA di depan kantor Bupati Tangerang.

Kala itu, FA dan teman-temannya dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) tengah unjuk rasa. Tahu-tahu FA dipiting oleh NP. Setelah itu dibanting dan ditendang. Akibatnya, FA kejang-kejang. NP mendapat sanksi terberat secara berlapis, dari penahanan di tempat khusus hingga mutasi tanpa jabatan.

Itu bukan satu-satunya kasus kekerasan yang dilakukan polisi dalam satu-dua tahun belakangan. Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) dengan lugas menyatakan, pada rentang Juli 2022 hingga Juli 2023 terjadi 622 peristiwa kekerasan yang melibatkan anggota polisi.

Tindak kekerasan yang paling banyak dilakukan adalah penembakan, yakni 440 kejadian. Setelahnya, kekerasan penganiayaan sebanyak 58 peristiwa. Kemudian, penangkapan sewenang-wenang sebanyak 46 peristiwa. Ada pula 13 peristiwa penembakan dengan gas air mata yang menelan banyak korban.

Bagaimana dengan tragedi Afif? Benarkah Afif meninggal akibat kekerasan yang dilakukan oleh polisi? Jika benar, apakah bentuk perlawanan Afif sehingga anak itu harus kehilangan nyawa? Jika benar, apakah anggota polisi sudah melewati tahapan penggunaan kekerasan?  

Harus diakui, masyarakat kehilangan rasa percaya kepada institusi polisi. Itu buah dari penguatan rasa frustrasi masyarakat akibat ketidaksesuaian antara harapan yang wajar terhadap polisi dengan kenyataan yang didapat (relative deprivation).

Masyarakat Indonesia di seluruh penjuru Nusantara masih berharap, meski sudah sering dikecewakan, institusi polisi menjadi lembaga pemerintah yang bermartabat dan berperikemanusiaan.

Jika kabar angin soal musabab kematian Afif benar karena disiksa oleh aparat penegak hukum, celakalah rakyat yang telah membayar pajak. Rakyat sama sekali tidak menyangka uang pajak justru digunakan untuk membunuh mereka.

Lebih menyedihkan lagi, dalam kasus Afif, polisi lebih berambisi mencari siapa yang memviralkan kabar tentang penyiksaan polisi terhadap Afif alih-alih memastikan penyebab kematian Afif. Alasannya receh: tukang viral itu merusak nama baik institusi Polri. Aih!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun