Jamil Salmi (1993) memaknai kekerasan sebagai 'tindakan pelanggaran hak asasi manusia atau menghalangi terpenuhinya kebutuhan dasar manusia'. Tidak heran jika Salmi menegaskan bahwa setiap kali manusia kelaparan atau kekurangan gizi karena alasan sosial atau politik, kita bisa menganggap mereka sebagai korban kekerasan sosial.
Nahasnya, hampir semua tindakan kekerasan dapat dikatakan melanggar hak-hak seseorang sehingga kekerasan menjadi sesuatu yang tidak ada artinya. Tindakan kekerasan tidak lebih dari perbuatan yang sia-sia.
Apabila kekerasan adalah pelanggaran terhadap seseorang atau hak-hak seseorang maka setiap kesalahan sosial adalah tindakan yang disertai kekerasan, kejahatan terhadap orang lain merupakan kejahatan yang disertai kekerasan, dosa terhadap sesama merupakan tindakan kekerasan (Joseph Betz, 1977).
Bagaimana dengan Kekerasan Polisi?
Polisi, lembaga legal dan sah yang memiliki kewenangan penegakan hukum, sudah lama sangat akrab dengan kekerasan. Kegagalan tiap anggota Polri menjaga dan menahan diri dari tindakan kekerasan membuat kepercayaan masyarakat terhadap Polri makin tipis dan rentan.
Celakanya, Polri yang seharusnya memberikan rasa aman kepada masyarakat justru menjadi aktor yang melakukan kekerasan terhadap masyarakat sipil. Itulah bukti polisi, sebagai aparat penegak hukum, memperlihatkan kondisi "ketidakmauan" (unability) atau sikap ketidakmampuan (unwillingness). Dan, itu berbahaya.
Oknum polisi membanting mahasiswa. Brigadir NP, personel polisi dari Polresta Tangerang, pada 13 Oktober 2021 membanting mahasiswa berinisial FA di depan kantor Bupati Tangerang.
Kala itu, FA dan teman-temannya dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) tengah unjuk rasa. Tahu-tahu FA dipiting oleh NP. Setelah itu dibanting dan ditendang. Akibatnya, FA kejang-kejang. NP mendapat sanksi terberat secara berlapis, dari penahanan di tempat khusus hingga mutasi tanpa jabatan.
Itu bukan satu-satunya kasus kekerasan yang dilakukan polisi dalam satu-dua tahun belakangan. Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) dengan lugas menyatakan, pada rentang Juli 2022 hingga Juli 2023 terjadi 622 peristiwa kekerasan yang melibatkan anggota polisi.
Tindak kekerasan yang paling banyak dilakukan adalah penembakan, yakni 440 kejadian. Setelahnya, kekerasan penganiayaan sebanyak 58 peristiwa. Kemudian, penangkapan sewenang-wenang sebanyak 46 peristiwa. Ada pula 13 peristiwa penembakan dengan gas air mata yang menelan banyak korban.
Bagaimana dengan tragedi Afif? Benarkah Afif meninggal akibat kekerasan yang dilakukan oleh polisi? Jika benar, apakah bentuk perlawanan Afif sehingga anak itu harus kehilangan nyawa? Jika benar, apakah anggota polisi sudah melewati tahapan penggunaan kekerasan? Â
Harus diakui, masyarakat kehilangan rasa percaya kepada institusi polisi. Itu buah dari penguatan rasa frustrasi masyarakat akibat ketidaksesuaian antara harapan yang wajar terhadap polisi dengan kenyataan yang didapat (relative deprivation).