Mestinya Gerindra, selaku parpol, memberikan pendidikan politik kepada publik. Jika tidak mampu memperlihatkan bagaimana cara mempersiapkan kader, cukup dengan mempertunjukkan bagaimana mengusung calon yang patut.
Jangan-jangan Gerindra menyodorkan kandidat kepada khalayak dengan prinsip egotropik atau demi kepentingan sendiri. Mau kandidat ini ataupun itu, bodoh amat, yang penting menang dan menguntungkan partai. Masa bodoh kredibilitas kandidat, masa bodoh apa kata rakyat.
Cara elite parpol mengumumkan kandidat yang bakal mereka usung memperjelas bahwa mereka memang tidak mempertimbangkan kesejahteraan masyarakat atau sosiotropik. Di mata elite parpol, rakyat itu sekadar penggembira yang bisa disuruh-suruh, dimobilisasi, didorong masuk bilik suara untuk memilih calon tertentu, setelah itu dilepeh.
Apakah penunjukan seorang kandidat merupakan manifestasi dari suara konstituen pemilih parpol? Tampaknya, tidak. Elite parpol jarang memperhatikan, apalagi mempertimbangkan, teori ekspektasi rasional.
Menurut teori ekspektasi rasional, pemilih menggunakan seluruh informasi yang tersedia untuk membuat perkiraan secara rasional tentang siapa yang patut atau pantas dipilih dan memilih sesuai dengan perkiraan itu (MacKuen, Erikson, dan Stimson, 1992).
Bahkan dengan informasi yang terbatas, jika pemilih benar-benar rasional dalam menentukan siapa yang akan mereka pilih di bilik suara, semua informasi mereka gunakan secara rasional dan mereka wujudkan dalam menentukan pilihan.
Sayangnya, jika kita berbicara tentang karakter pemilih di Indonesia, rasionalitas pemilih takluk di bawah telapak "politik uang". Dengan kata lain, pilihan rasional pemilih bisa berubah dari "siapa yang patut dan pantas dipilih" ke "siapa yang memberikan uang lebih banyak sebelum fajar pemilihan menyingsing".
Maka kloplah parpol dan pemilih, sama-sama memikirkan keuntungan sendiri yang bersifat sesaat atau semenjana. Parpol mengabaikan rasionalitas penentuan calon, pemilih mengabaikan rasinalitas penentuan calon yang dipilih.
Pada titik itulah artis, dengan modal popularitas, menumpang di kendaraan parpol untuk ikut bertarung di pilkada. Kader parpol yang berjuang dari bawah, kecuali kader kutu loncat yang mahir pindah parpol, akhirnya menggigit jari dan mengelus dada karena ditelikung justru oleh partai.
Politik Uang Penyokong Pelet Popularitas
Selain pelet popularitas, demokrasi di negara kita punya penyakit kronis yang tidak bakal sembuh. Penyakit kronis itu bernama "politik uang". Semua parpol, termasuk kader dan simpatisannya, sama-sama mengharamkan politik uang karena merusak sistem pemilu, mendistorsi hasil pemilu, dan meracuni otak pemilih.