JIKA mengacu pada hasil Seminar Hari Jadi Kabupaten Jeneponto, hari ini adalah Hari Jadi Jeneponto. 1 Mei 1863--1 Mei 2023. Sudah 160 tahun. Sudah mulai mendekati dua abad. Sudah makin tua dan, sebenarnya, bisa saja lebih tua jika bukan 1 Mei 1863 yang disepakati sebagai Hari Jadi Jeneponto.
Kendati sudah berusia 160 tahun, Kabupaten Jeneponto masih identik sebagai "kabupaten miskin" di Sulawesi Selatan. Andaikan tiap tahun ada pemeringkatan serius tentang kabupaten termiskin di Sulawesi Selatan, Jeneponto niscaya akan masuk dalam 5 besar. Boleh jadi, akan selalu menempati peringkat pertama sebagai kabupaten termiskin.
Tentu saja itu bukan prestasi yang membanggakan. Malahan, menyedihkan. Namun tiap tahun akan begitu terus, berulang-ulang tiada henti, sampai-sampai peringatan Hari Jadi Jeneponto hanya menjadi rutinitas tahunan di balik ketakberdayaan mengubah nasib tanah kelahiran. Itu terus terjadi selama seluruh komponen warga Jeneponto berupaya keluar dari "lubang hitam kemiskinan" itu.
SALAH seorang sosok yang tengah merancang hasrat berbuat lebih bagi daerah kelahiran dan daerah lain di Sulawesi Selatan adalah Abdul Rachmat Noer. Ahli pemasaran yang lama berkecimpung di PT Semen Tonasa itu akan purnatugas tahun ini. Dengan begitu, ia bisa mengabdi dengan cara berbeda, yakni menjadi "penyambung lidah rakyat".
Sosok yang murah senyum ini juga berkhidmat selaku Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Kerukunan Keluarga Turatea (KKT). Tidak tanggung-tanggung, Rachmat mengusung moto yang menyentuh. Manna bulaeng assiori, kualleangi samborikku na tau bellaya [meski emas yang menyinari, saya lebih memilih saudara sedaerahku daripada orang yang jauh].
Apa yang hendak Rachmat tawarkan untuk Jeneponto? Jelas, bersuara lantang di Senayan agar Jeneponto tidak menjadi daerah "cukuluk" (baca: urutan buncit) lagi. Bagaimanapun, akan lebih mudah memperjuangkan nasib Jeneponto di pusat apabila ada putra Turatea, sebutan untuk orang dan daerah Jeneponto, yang berkiprah di DPR RI.
Pada Pemilihan Legislatif 2019, tidak seorang pun putra Turatea yang gol menuju Senayan. Semuanya kandas. Padahal, jumlah pemilih di Jeneponto cukup banyak. Andaikan semua pemilih di Jeneponto kompak memilih putra Turatea, jelas akan ada anggota legislatif dari Jeneponto yang duduk di Senayan. Legislator Rafsel Ali, misalnya, hanya mendulang 43.359 suara dan sudah duduk di Senayan. Itu sekadar menyebut contoh.
Namun, Pileg 2019 sudah berlalu. Biarkan apa yang sudah berlalu tetaplah berlalu, sebab waktu yang sudah berlalu tidak akan pernah kembali. Meski begitu, kita bisa memperbaiki apa-apa yang keliru pada waktu lalu agar tidak terulang pada masa mendatang. Jika pada Pemilu 2019 warga Turatea gagal mengusung seorang putranya ke Senayan, kegagalan serupa tidak terulang pada Peleg 2024.
Ada 300.000 wajib pilih sementara di Jeneponto. Jikalau semuanya kompak dan bersatu memilih putra Turatea, jelas peluang keterpilihan sangat besar. Apabila ada yang terpilih berjuang di Senayan, pasti akan ada yang secara spartan membela dan memperjuangkan nasib warga Jeneponto.
"Insyaallah sistem proporsional terbuka atau tertutup, saya tetap akan maju sebagai caleg DPR Ri dari Partai Demokrat untuk menegakkan harga diri orang Turatea," ujar Rachmat dengan tegas. "Saatnya orang Jeneponto kembali menunjukkan kebesarannya."