TERSEBUTLAH KISAH 10 bersaudara. Masing-masing bernama Mallete Daeng Marewa, Bagala Daeng Tutu, Ballaco Daeng Mattawang, Pareang Daeng Tobo, Punte Daeng Palurang, Tole Daeng Rumpak, Manngakkasang Daeng Rani, Lasiuk Daeng Sitaba, Barrang Daeng Situru, dan Pammak Daeng Tompo.(1)
Mereka, adik-kakak putra Lambogo Daeng Patunrung,(2) anggota tubaranina(3) Kerajaan Binamu. Semula mereka menetap di Tanetea dengan menempati rumah yang pernah ditempati oleh G. Maan, pendeta yang diutus Belanda untuk menjalankan tugas misionaris di Turatea.(4) Setelah Mallete Daeng Marewa menikahi Dianne Daeng Baji Karaeng Bainea, 10 bersaudara itu pindah ke sebelah selatan Lantaka untuk membabat hutan dan membuka sebuah kampung. Kelak kampung itu dinamai Borongtammatea(5) karena banyaknya pohon tammate (kayu cina) di sana.
Keberadaan Mallete bersaudara tidak hanya tenar di kalangan pembesar Kerajaan Binamu, tetapi juga di kalangan Belanda. Mereka sangat disegani dan ditakuti oleh Dewan Hindia Belanda. Catatan penguasa Belanda dan warta yang disiarkan oleh koran berbahasa Belanda merupakan bukti kuat atas keberadaan pasukan elite yang digelari Pammonggana Turatea (Perusak dari Turatea) itu. Sepak terjang Bagala, misalnya, sangat ditakuti pasukan Belanda hingga ia digelari Bagalakna Bontotangnga.
Heroisme Mallete bersaudara dapat dilihat dari catatan Belanda tentang kisah I Tolok Daeng Magassing.(6) Kehebatan dan ketangguhan I Tolok Daeng Magassing dalam melawan penguasa Belanda sudah tidak perlu diragukan lagi. Saking hebatnya sampai-sampai kisah I Tolok dikuatkan dengan cerita rakyat dalam sinrilik berjudul I Tolok. Wilayah pemberontakan I Tolok mencakup Sanrabone dan Polombangkeng, sedangkan wilayah persembunyiannya berada di kawasan Bangkala dan Binamu.
Kala itu Kerajaan Binamu dipimpin oleh Palangkey Daeng Lagu Karaeng Mappalili Raja Binamu ke-18. Palangkey Daeng Lagu Karaeng Mappalili Raja Binamu ke-18 diangkat menjadi Wakil Regen Binamu (sekarang setara dengan Bupati) oleh Dewan Hindia Belanda pada 12 November 1870.(7)
Status Binamu diturunkan setingkat oleh Belanda dari regen menjadi subregen. Beliau menggantikan Sanre Daeng Nyikko Karaeng Bontoramba Raja Binamu ke-17 yang menjabat Regen Binamu pada 1 April 1867 hingga 11 November 1870.(8)
Pada 29 November 1872,(9) Palangkey Daeng Lagu Karaeng Mappalili Raja Binamu ke-18 dilantik menjadi Regen Binamu, setelah Binamu kembali dinaikkan status dan otoritasnya menjadi Regen. Beliau menjabat selaku Regen Binamu hingga 21 Juli 1906.(10)
Dengan demikian beliau menjabat Wakil Regen Binamu (12 November 1870--28 November 1872) dan Regen Binamu (29 November 1872--21 Juli 1906). Kedudukan beliau selaku Regen Binamu digantikan oleh Lompo Daeng Raja Karaeng Malompoa Raja Binamu ke-19 pada 22 Juli 1906.(11)
Lompo Daeng Raja, laki-laki berusia sekitar 48 tahun yang kala itu menjabat Regen Binamu, dianggap sebagai salah seorang pangeran terkaya di Sulawesi Selatan. Ia memiliki kawanan ternak yang banyak, kandang kuda yang besar, dan perkebunan yang luas. Sejak muda ia sudah diperkirakan akan menggantikan kekuasaan ayahandanya Palangkey Daeng Lagu. Pada 1906 ia sudah dipercaya oleh Dewan Hindia Belanda untuk menjadi Regen Binamu.
Namun, pada 1912 dia diusulkan oleh Asisten Residen di Bantaeng untuk diberhentikan karena pemberontakannya yang terus berlanjut. Penguasa Hindia Belanda tidak menanggapi hal itu dengan alasan bahwa tidak ada pengganti yang lebih baik yang dapat ditunjuk dan karena berharap dia akan meningkat di bawah kepemimpinan yang baik. Akibatnya, Asisten Residen seolah-olah kehilangan nyawa dan tidak lagi mengeluh. Hal itu berlangsung sampai 1914.
Tidak hanya itu, Lompo Daeng Raja memberikan informasi yang sepenuhnya salah kepada pemerintah Eropa tentang pesta rampok yang terjadi di Distrik Bontotangnga pada tahun 1914. Hasil penyelidikan menunjukkan bahwa perampokan itu didalangi oleh saudara iparnya, Baha.
Koran tua Belanda mencatat:
Gearresteerd werden Toen Lompo Daeng Radja een ongeveer 48 jarig man, regent van Binamoe, die beschouwd werd als een der rijkste vorstentelgen van Zuid-Celebes--hij had een reusachtige veestapel, groote paardenstoaterij en uitgestrekte landerijen--Ronggo Daeng Romo Kraeng van Bontotangnga, Toenroe Daeng Ngero Kraeng van Empoang, Bagala, Makka, Mallete, Ponte, Lasiu, en Barrang allen landbeuwers in Binamoe en familieleden van-eerstgenoendem regent van Binamoe. Deze stond reeds voor zijn benoeming tot opvolger van zijn vader, den in 1906 overleden regent van Binamoe engunstig bekend, en werd in 1912 wegen zijn voortdurend wangedrag dor den toenmalingen assistant-resident van Bonthain voor ontslag voorgedragen.(12)
Dari berita itu dapat kita ketahui bahwa akibat maraknya pemberontakan dan pencurian di kawasan Kerajaan Binamu, Lompo Daeng Raja ditangkap bersama Ronggo Daeng Romo Karaeng Bontotangnga dan Tunru Daeng Ngero Karaeng Empoang.
Pasukan elite Binamu juga turut ditangkap, di antaranya Bagala, Makka,(13) Mallete, Punte, Lasiu, dan Barrang. Lompo Daeng Raja dan bawahannya ditahan di Bantaeng selama 14 hari, sebagai hukuman, kembali menunjukkan semangat yang besar.
Tidak ada lagi bencana rampok hingga Juli 1915; lalu pada bulan itu, bagaimanapun, tidak kurang dari 24 kali perampokan yang dilaporkan, tetapi Regen Binamu memberikan informasi yang salah(14) dengan hanya memberi tahu satu perampokan kepada otoritas Eropa, sehingga penyelidikan terhambat, sementara orang tidak akan percaya lagi karena salah seorang pemasok geng perampok ditemukan di rumah Regen Binamu.
Alih-alih jera, Lompo Daeng Raja dan pengikutnya tetap gencar mencuri dan merampok harta benda keluarga pejabat Belanda. Belakangan, keturunan Lompo Daeng Raja melakukan sesuatu yang lebih berani ketika di kampung Jeneponto Toa,(15) kira-kira 500 m dari halaman istana Raja Binamu. Tindakan pencegahan dan pengamanan yang dilakukan oleh aparat administrasi tidak berpengaruh tanpa Regen Binamu sebagai kepala polisi pribumi.
Indikasi lain ketika Letnan Gubernur Jeneponto melakukan perjalanan melalui daerah yang sering disambangi oleh para perampok. Ketika Letnan Gubernur tiba di daerah itu, kepala perampok yang terkenal, I Tolok, telah tiba di sana bersama komplotannya sejak sore sehari sebelumnya. Seluruh pejabat administrasi Regen Binamu ikut dalam perjalanan Letnan Gubernur Jeneponto, kecuali Regen Binamu sehingga ia tidak menyaksikan kejadian itu.
Dalam dua bencana yang dilaporkan setelahnya, yang pelakunya sudah dilacak oleh polisi, Bupati Binamu tiba-tiba turun tangan dan menunjuk seseorang sebagai pemimpin, yang menyebut beberapa orang tak bersalah sebagai kaki tangannya. Namun interogasi menunjukkan bahwa dua hari setelah penggerebekan, ia sudah menceritakan semuanya kepada bupati yang baru melaporkan orang yang terlibat 18 hari kemudian, padahal letnan gubernur sudah mengejar pelaku.
Akhirnya Belanda mengetahui bahwa Lompo Daeng Raja dan laskarnya memiliki hubungan dekat dengan I Tolok. Belakangan, Belanda juga mengetahui pula bahwa justru Regen Binamu yang memerintahkan Ronggo Daeng Romo Karaeng Bontotangnga (saudara laki-lakinya) dan Tunru Daeng Ngero (saudara ipar serta sepupu pertamanya) agar terus membantu I Tolok.
Pada Juli 1915, di sebuah kampung di Pao, sebuah distrik yang diperintah oleh sepupu pertama Regen Binamu dan saudara laki-laki dari istri utama itu, berkemah dalam jarak sepelemparan batu dari kediaman distrik itu dan bahkan tidak berjarak dua kutub dari kediaman bupati.
Adalah Ronggo Daeng Romo Karaeng Bontotangnga yang diantar ke sana oleh Bagala, Punte, dan Makka. Selanjutnya, I Tolok pernah terlihat dalam perjalanan, ditemani Bagala dan Punte, dengan menunggangi kuda milik Regen Binamu.
Hasil akhir penyelidikan penguasa Belanda memutuskan untuk menangkap Lompo Daeng Raja dan komplotannya. Bagala Daeng Tutu, Punte Daeng Palurang, Lasiuk Daeng Sitaba, Mangngakkasang Daeng Rani, dan Barrang Daeng Situru juga ditangkap oleh Kompeni. Begitu pula dengan Ronggo Daeng Romo Karaeng Bontotangnga dan Tunroe Daeng Ngero Karaeng Empoang.
Pengadilan Belanda di Surabaya memutuskan bahwa Lompo Daeng Raja, mantan Regen Binamu, ditahan di penjara negara di Surabaya; Ronggo Daeng Romo Karaeng Bontotanga ditawan di penjara negara di Surabaya; Tunru Daeng Ngero Karaeng Empoang ditahan di penjara negara di Surabaya; Bagala, Makka, Punte, Lasiuk, serta Barrang ditawan dan di penjara negara di Makassar kemudian diasingkan ke Kupang.
Mallete(16) yang tidak hadir dalam pertemuan di Pao akhirnya tidak tertangkap oleh serdadu Kompeni. Ia bersama empat saudaranya yang tersisa meneruskan perjuangan melawan Kompeni hingga Lompo Daeng Raja kembali ke Turatea dan dilantik menjadi Raja Binamu ke-19.
Catatan Akhir:
(1) Disampaikan secara lisan oleh Punda Bin Manrawa kepada penulis, serta Catatan Harian Paseway Bin Punda tentang Sejarah Borongtammatea.
(2) Berasal dari Kerajaan Kalimporo, sekarang bernama Desa Kalimporo, Kec. Bangkala, Kab. Jeneponto, Sulawesi Selatan.
(3) Semacam tentara kerajaan.
(4) Gedungnya sekarang terletak di bekas Kantor KUD Bontotangnga, Kec. Tamalatea, Kab. Jeneponto, Sulawesi Selatan.
(5) Borongtammatea berasal dari bahasa Makassar, yakni dari kata "borong" (rumpun) dan "tammate" (kayu cina). Borongtammatea berarti "rumpun kayu cina".
(6) Lihat Bataviaasch Nieuwsblad No. 304 Edisi 24 November 1916 hlm. 1--2.
(7) Lihat data komposisi dan personalia pemerintahan di Regeerings-Almanak voor Nederlandsch-Indie jaar 1873 hlm. 210.
(8) Lihat data komposisi dan personalia pemerintahan di Regeerings-Almanak voor Nederlandsch-Indie jaar 1870 hlm. 204.
(9) Lihat data komposisi dan personalia pemerintahan di Regeerings-Almanak voor Nederlandsch-Indie jaar 1873 hlm. 210.
(10) Lihat data komposisi dan personalia pemerintahan di Regeerings-Almanak voor Nederlandsch-Indie jaar 1906 hlm. 250.
(11) Lihat data komposisi dan personalia pemerintahan di Regeerings-Almanak voor Nederlandsch-Indie jaar 1907 hlm. 251.
(12) Lihat Bataviaasch Nieuwsblad No. 304 Edisi 24 November 1916 hlm. 2.
(13) Nama versi Belanda untuk Mangngakkasang.
(14) Salah menurut versi Dewan Hindia Belanda.
(15) Dulu sempat disebut Jeneponto Lama, kemudian lebih dikenal dengan nama Monro-Monro.
(16) Penulis adalah keturunan keenam dari Mallete Daeng Marewa dan Dianne Daeng Baji Karaeng Bainea. Nama dua sesepuh kampong Borongtammatea itu sekarang diabadikan oleh cucu-cucunya sebagai nama sebuah sanggar kesenian tradisional bernama Sanggar Mallete Baji.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H