Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Teriak NKRI Harga Mati, Pakai Bahasa Indonesia Minder

8 Maret 2023   07:41 Diperbarui: 8 Maret 2023   07:48 1025
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi merantai kata-kata dalam bahasa Indonesia dengan kebiasaan menggunakan bahasa asing (Gambar: knowlaw.in)

Memang luar binasa sebagian orang Indonesia. Mengaku cinta tanah air, mengaku bangga berbangsa Indonesia, mengaku NKRI harga mati, tetapi giliran berbicara malah minder berbahasa Indonesia.

Kamu jangan tersinggung, ya. Alinea pembuka di atas tidak tertuju kepadamu. Saya tahu, kamu selalu bangga berbahasa Indonesia. Kamu juga tidak minder berbahasa Indonesia. Bahkan, kamu mengaku sangat mencintai bahasa Indonesia.

Hanya sesekali kamu mengira bahwa bahasa Indonesia itu seperti semen, pasir, dan air. Bisa diaduk sama rata ataupun tidak sama rata. Kadang pakai basically, kadang pakai pada dasarnya. Sesekali pilih literally, sesekali pilih secara literal.

O, tidak begitu. Maaf. Saya pikir, kamu termasuk dalam kaum yang meyakini bahwa mencampuradukkan kata asing dan kata dalam bahasa Indonesia bisa menambah wawasan. Maafkan saya karena tidak begitu sepakat.

Kalau mau menambah wawasan, pahami makna kata asing yang kamu copot sesuka udel itu. Even, misalnya. Kata itu berarti 'bahkan'. Eh, even malah kamu sangka 'walaupun' atau 'sesuatu yang bernilai lebih'.

Literally, misalnya lagi. Aneh saja mendengar segelintir orang menyangka kata itu bermakna 'sangat' atau 'banget'. Gue literally marah sama lo. Ai. Asal comot, salah posisi, makna, dan kondisi pula.

Lebih parah lagi, frasa wich is (yaitu) sering ditukar dengan wich means (berarti). Wich is, gue gak benci sama lo. Benarkan dulu, dong. Wich means, gue gak benci sama lo. Soal wich is, bisa seperti kalimat berikut. Pelesir ke Bogor, yuk, wich is Kota Hujan yang punya Kebun Raya.

Jikalau comat-comot kata sesuka hati itu tidak didasari atas keinginan belajar yang gigih, alamat kian banyak penggunaan kata yang keliru. Ketika mendapat tugas menulis di kampus, pasti tidak ada yang dapat dilakukan selain kalang kabut.

Dosen menyuruh bikin makalah, kamu malah menyuruh orang lain, karena kamu merasa sangat goblok untuk sekadar menulis makalah. Mau bikin skripsi mesti cari joki, karena kamu merasa sangat tolol kendati sekadar menyusun skripsi.

Sungguh, jangan marah. Kamu tidak begitu. Orang lain yang biasa seperti itu. Lagi pula, kebiasan mencampuradukkan bahasa asing dan bahasa Indonesia bukan "hak milik" anak Jaksel belaka. Dan, bukan itu yang hendak saya ulas. Hiks.

Begini. Kemarin saya menerima pesan dari seorang teman Kompasianer. Siska Artati namanya. Doi mempertanyakan kebiasaan orang menggunakan "pre order" alih-alih memakai "prapesan".

Bu Siska, begitu saya kerap menyapanya, berusaha mengajak agar tim pemasaran memakai "prapesan" saja. Supaya mengindonesia. Supaya citarasa Indonesia berasa. Supaya cinta kasih pada bahasa Indonesia lebih terasa.

Ternyata tim pemasaran (yang kerap menyebut dirinya marketing) kurang sreg memakai "prapesan". Alasannya, tidak lazim. Aduh. Kaleng kerupuk juga tahu kalau lazim tidaknya satu kata bisa terjadi karena kerap dipakai.

Dulu, orang-orang keranjingan memakai frasa "contact person". Hanya segelintir orang yang memakai kata "narahubung". Padahal, pelafalan narahubung lebih keren. Artinya, sama. Bedanya, yang satu masih bahasa asing dan satu lagi sudah bahasa Indonesia.

O ya, narahubung berasal dari kata "nara" yang berarti 'manusia, suami, atau pahlawan' dan "hubung" yang bermakna 'sambung'. Sederhananya, narahubung berarti 'orang yang bertugas sebagai penyedia informasi'.

Jika memakai "narahubung", kemungkinan terpeleset saltik bakal kecil sekali. Berbeda halnya jika memakai "contact person". Saya pernah dikirimi poster elektronik lomba menulis yang isinya "contac person". Malu!

Bagaimana dengan tim pemasaran di atas? Ternyata teman Bu Siska itu enggan mengganti "pre order". Ya, sudahlah. Bukan hanya mereka yang minder berbahasa Indonesia. Banyak.

Pada akhirnya, saya hanya ingin menanyakan sesuatu. Orang-orang kerap memakai istilah "marketing" seakan-akan itu lebih keren daripada "pemasaran". Anehnya, mereka tidak mengganti "penasaran" dengan "narketing".

 Hahaha. Garing! [kp]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun