Tidak mudah menjadi Entri, tetapi lebih tidak mudah lagi menjadi Lema. Menjadi Entri cukup tahu menulis, bisa menata kata, mahir meramu kalimat, dan cekatan membingkai gagasan. Menjadi Lema tidak. Harus tahu asal muasal kata, mesti hafal makna kata, dan wajib tangkas mengurai penggunaan kata kepada koleganya.
Siang ini di bawah langit Depok yang berawan, Entri sedang curhat kepada Lema. Ia memang begitu orangnya. Tidak mahir memendam kecewa, tidak terampil menyimpan luka. Lema sama, sebelas-dua belas dengan Entri.
"Aku berduka," kata Entri dengan dagu seperti digayuti kerikil sekarung.
Lema tercengang. "Kenapa?"
"Kesal hati."
"Gara-gara?"
Entri menghela napas panjang seperti kapten tim tarik tambang yang takut terseret helaan tim lawan. "Jurnalis sekarang malas mengabarkan kata yang tepat. Mereka malas buka kamus."
"Jangankan jurnalis," ujar Lema menimpali, "guru dan dosen Bahasa Indonesia saja jarang buka kamus bahasa Indonesia."
"Kau dikasih Tuhan dua telinga satu mulut, Lema, biar mendengar dua kali lebih banyak daripada berbicara."
Lema mendengik. "Baiklah. Aku menyimak!"
Entri tertawa melihat Lema terlihat rikuh. "Jurnalis mestinya mengampanyekan bahasa Indonesia yang tepat kepada pembaca." Ia berhenti sejenak, menyalakan ponsel, dan memperlihatkan layar kepada Lema. "Kaulihat judulnya. Ternyata Segini Tarif Laila Sari."