Pukul tiga sore ketika matahari hilang dan air deras tumpah dari langit.
Kamar, yang biasanya dihuni oleh kamu dan aku, sekarang didiami gelap akibat listrik seperumahan mendadak padam. Aku memilih duduk di beranda, lalu bercengkerama dengan tempias hujan yang sekali-sekali mengelus pipiku dan mengelimiskan rambutku. Kamu masih di jalan menuju rumah, mungkin sedang bermain hujan atau bernaung di tempat teduh.
Kamu belum juga pulang saat ada yang datang bertamu. Tamu ini memang tidak peduli pada jam berkunjung. Sering ketika hujan mengeroyok ingatan, sesekali lewat lagu lawas yang kudengar atau film tua yang  tayang ulang di televisi, sekali-kali lewat foto hitam putih yang dipajang sepupu di dinding Facebook-nya.
Aku senang sekaligus sedih menyambut kedatangan tamu ini. Aku senang karena aku bosan sendirian, aku sedih karena ia muncul bertamu sewaktu aku malas bertemu dengannya. Kamu tahu, ia jenis tamu yang ulet. Tamu yang tidak bisa diusir secara kasar apalagi lembut. Dikasari ia menjadi-jadi, dilembuti ia taktahu diri.
Tamu itu bernama Masa Kecil. Kali ini ia tidak sendirian. Ia ditemani oleh Masa Remaja. Keduanya duduk bersila di depanku dan menjura tanpa kuminta.
"Jangan coba-coba melupakanku," kata Masa Kecil seraya mendengkus.
Masa Remaja mencebik. "Apalagi aku!"
Sebenarnya aku tidak pernah melupakan mereka. Sama sekali tidak pernah. Aku jenis lelaki yang tabah merawat kenangan, semenyenangkan atau semenjengkelkan apa pun. Akan tetapi, aku tidak menyanggah. Kubiarkan mereka bicara. Belakangan ini aku sibuk menatal cerita-cerita orang dan lalai menatah kisah-kisahku sendiri.
"Waktu itu," tutur Masa Kecil sambil menatap bulir hujan berjatuhan ke tanah, "kampung kita belum diterangi listrik. Jadi kamu tidak takut gelap. Malam hanya diterangi cahaya dari lampu teplok atau petromaks."
Masa Remaja terkekeh-kekeh. "Aku masih mendapati masa itu. Tak ada beker, tak ada alarm. Kita bangun sahur karena desakan air seni."
Aku tersenyum. Sejak kecil aku memang banyak minum. Orang lain delapan gelas, aku bisa sebelas gelas. Orang-orang menggelariku Si Botak Manusia Ikan. Gelar manusia ikan kuraih gara-gara kebiasaan minum, sedangkan si botak karena rambutku sempat rontok akibat sakit parah semasa berusia empat-lima tahun. Sakit apa? Yang kuingat cuma demam, muntah darah, dan lemas tiba-tiba.
Biasanya tengah malam buta aku terbangun dan buru-buru ke belakang, lalu pipis di jendela. Rumah panggungku memang tak punya kakus. Hanya ada satu tempat seukuran satu kali satu meter dengan sebuah gumbang dan beberapa ember berisi air. Lantainya dari kayu lontar. Licin. Mata berat dan cemas terpeleset membuatku selalu memilih jendela.
"Ketika air kencing memancur ke kebun di belakang rumah," ujar Masa Kecil menimpali, "ibu terbangun."
Aku terkesima. Rumah panggung dengan lantai dari bilah-bilah bambu yang dihaluskan dan dipasang tengkurap menari-nari di mataku.
"Air kencing itu mengenai daun pisang dan risiknya terdengar nyaring." Masa Kecil tertegun, lalu tertawa..
Ibu tidak pernah marah meskipun aku tidak pipis di jamban. Alih-alih menggerutu, beliau bawakan segayung air untukku. Ibu juga tidak pernah marah kalau aku menolak pisang goreng yang riwayatnya berasal dari rumpun pisang yang sering kukencingi. Tiap mengunyah pisang goreng itu serasa menenggak kencing sendiri.
Masa Remaja masam-mesem. "Setelah itu?"
"Kembali ke tikar daun lontar dan tidur lagi," jawab Masa Kecil.
Mataku memampang gambar buram. Ibu menghangatkan sayur dan menggoreng ikan, aku menggelung di belakangnya di atas tikar yang kuseret dari ruang tengah. Ibu memasak sambil bercerita tentang dongeng lompo golok, aku tidur sambil mendengkur.
"Tetapi aku lebih sering mengingat saat-saat berbuka puasa di masjid," ujar Masa Remaja sambil mengibaskan rambut.
Mata Masa Kecil berbinar-binar. "Ya, banyak makanan enak!"
Kepalaku kembali membentangkan gambar buram. Masjid di kampungku tepat di samping rumahku. Atapnya dari seng, lantainya dari tanah yang dialasi tikar tiga lapis, dan dindingnya dari anyaman bambu. Sejengkal lagi matahari rebah di langit barat adalah masa-masa paling dinanti. Buka bersama di pelataran masjid.
Penyedia kudapan atau makanan berbuka selalu digilir setiap hari. Warga kurang mampu akan berkongsi tiga-empat orang, sedangkan yang agak mampu biasanya sendirian. Kadang cendol tanpa es karena belum ada yang punya kulkas. Kadang rokok-rokok cangkuneng--penganan dari terigu yang tengahnya berisi parutan kelapa dan gula dan dibungkus daun pisang. Kadang jeknek uring boyok--kolak dari buah labu tua atau pisang dengan kuah gula merah hasil sadapan mayang lontar.
Tiba-tiba Masa Remaja terkekeh-kekeh.
Masa Kecil menatapnya. "Kenapa tertawa?"
"Kamu bandel!"
Masa Kecil tersentak. "Kenapa?"
"Puasa sudah batal masih saja ikut buka bersama di masjid."
Aku mengulum senyum. Ketika masih kelas satu SD, aku sering diam-diam menyelinap ke dapur dan menenggak satu-dua gelas air. Sebenarnya lapar, tetapi mengurangi sejumput nasi saja akan memicu kecurigaan ibu dan Kak Sufi, kakak perempuanku. Setelahnya, dengan tenggorokan yang sudah basah, aku kembali memajang raut wajah anak kecil memelas yang sedang diterjang haus dan lapar.
Bisa saja aku tidak ke masjid untuk berbuka puasa, namun Kakek Punda akan mencari aku. Dan, tidak ikut buka bersama alamat ketahuan tidak berpuasa. Saat itu aku belum paham benar bahwa puasa adalah ibadah rahasia. Sebagai obat rasa bersalah, biasanya aku tahu diri dengan tidak melahap banyak makanan. Aku akan segera masuk masjid dan mengambil corong dari seng lalu bang. Suaraku tidak merdu, tetapi banyak yang suka caraku azan. Kata ibu, lantunan azanku benar-benar penuh penghayatan.
Aku punya pengalaman tak terlupakan dalam perkara bang atau azan itu.
Sewaktu kelas dua SD, aku getol sekali azan Subuh. Belum ada pengeras suara. Belum ada pelantang canggih. Hanya corong untuk bang. Satu ketika aku kesal karena yang datang berjamaah Subuh tidak banyak. Itu-itu lagi, itu-itu saja. Aku kesal. Sebal karena merasa gagal sebagai tukang bang.
Kebetulan aku baru saja menamatkan buku tentang Abu Nawas.
Tatkala matahari setinggi galah, kira-kira pukul delapan, aku ke masjid dan bang dengan suara lantang. Aku tiru gaya Abu Nawas yang kecewa karena jamaah Subuh sangat sepi, beda dengan Magrib atau Isya. Suara lantangku berhasil memacu langkah-langkah orang ke masjid. Mula-mula Saleh, kakakku, melongok di pintu masjid. Lalu Yasin, sepupuku. Lalu tambah banyak. Lalu muncullah Om Syarif, paman yang disegani orang sekampung.
"Kenapa bang jam sebegini?" tanya Om Sewang, adik Om Syarif, sambil tertawa.
Aku melenggang ke halaman masjid dengan mimik serius. "Tadi Subuh aku azan, yang datang tidak seberapa. Padahal itu waktu azan yang benar. Waktu salat Subuh juga. Sekarang aku azan pada waktu yang salah, kalian malah datang. Kita memang sering lebih tertarik mencari kesalahan daripada kebenaran."
Sejak itu jemaah Subuh mulai ramai. Seminggu setelahnya susut lagi.
Namun, aku ingat satu peristiwa besar yang terekam di benakku hingga sekarang. Kakek Silang, saudara nenekku, mengusap kepalaku dan mencium ubun-ubunku. Beliau berbisik, "Kamu cerdas, Nak, tetapi jangan main-main soal azan."
Ingatanku kembali ke sore ini. Masih hujan. Dua jam lebih bercengkerama dengan Masa Kecil dan Masa Remaja. Waktu melaju tanpa terasa. Dari masjid di tengah perumahan berkumandang azan. Masa Kecil dan Masa Remaja segera menyeruput teh manis.Â
Takada penganan khas Makassar. Yang ada hanya kenangan menenangkan.
"Selamat berbuka puasa," kataku kepada mereka.
Kamu belum juga datang. Moga-moga kamu berbuka puasa bukan bersama kenangan Masa Kecil dan Masa Remaja. [kp]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H