Penyedia kudapan atau makanan berbuka selalu digilir setiap hari. Warga kurang mampu akan berkongsi tiga-empat orang, sedangkan yang agak mampu biasanya sendirian. Kadang cendol tanpa es karena belum ada yang punya kulkas. Kadang rokok-rokok cangkuneng--penganan dari terigu yang tengahnya berisi parutan kelapa dan gula dan dibungkus daun pisang. Kadang jeknek uring boyok--kolak dari buah labu tua atau pisang dengan kuah gula merah hasil sadapan mayang lontar.
Tiba-tiba Masa Remaja terkekeh-kekeh.
Masa Kecil menatapnya. "Kenapa tertawa?"
"Kamu bandel!"
Masa Kecil tersentak. "Kenapa?"
"Puasa sudah batal masih saja ikut buka bersama di masjid."
Aku mengulum senyum. Ketika masih kelas satu SD, aku sering diam-diam menyelinap ke dapur dan menenggak satu-dua gelas air. Sebenarnya lapar, tetapi mengurangi sejumput nasi saja akan memicu kecurigaan ibu dan Kak Sufi, kakak perempuanku. Setelahnya, dengan tenggorokan yang sudah basah, aku kembali memajang raut wajah anak kecil memelas yang sedang diterjang haus dan lapar.
Bisa saja aku tidak ke masjid untuk berbuka puasa, namun Kakek Punda akan mencari aku. Dan, tidak ikut buka bersama alamat ketahuan tidak berpuasa. Saat itu aku belum paham benar bahwa puasa adalah ibadah rahasia. Sebagai obat rasa bersalah, biasanya aku tahu diri dengan tidak melahap banyak makanan. Aku akan segera masuk masjid dan mengambil corong dari seng lalu bang. Suaraku tidak merdu, tetapi banyak yang suka caraku azan. Kata ibu, lantunan azanku benar-benar penuh penghayatan.
Aku punya pengalaman tak terlupakan dalam perkara bang atau azan itu.
Sewaktu kelas dua SD, aku getol sekali azan Subuh. Belum ada pengeras suara. Belum ada pelantang canggih. Hanya corong untuk bang. Satu ketika aku kesal karena yang datang berjamaah Subuh tidak banyak. Itu-itu lagi, itu-itu saja. Aku kesal. Sebal karena merasa gagal sebagai tukang bang.
Kebetulan aku baru saja menamatkan buku tentang Abu Nawas.