Tatkala matahari setinggi galah, kira-kira pukul delapan, aku ke masjid dan bang dengan suara lantang. Aku tiru gaya Abu Nawas yang kecewa karena jamaah Subuh sangat sepi, beda dengan Magrib atau Isya. Suara lantangku berhasil memacu langkah-langkah orang ke masjid. Mula-mula Saleh, kakakku, melongok di pintu masjid. Lalu Yasin, sepupuku. Lalu tambah banyak. Lalu muncullah Om Syarif, paman yang disegani orang sekampung.
"Kenapa bang jam sebegini?" tanya Om Sewang, adik Om Syarif, sambil tertawa.
Aku melenggang ke halaman masjid dengan mimik serius. "Tadi Subuh aku azan, yang datang tidak seberapa. Padahal itu waktu azan yang benar. Waktu salat Subuh juga. Sekarang aku azan pada waktu yang salah, kalian malah datang. Kita memang sering lebih tertarik mencari kesalahan daripada kebenaran."
Sejak itu jemaah Subuh mulai ramai. Seminggu setelahnya susut lagi.
Namun, aku ingat satu peristiwa besar yang terekam di benakku hingga sekarang. Kakek Silang, saudara nenekku, mengusap kepalaku dan mencium ubun-ubunku. Beliau berbisik, "Kamu cerdas, Nak, tetapi jangan main-main soal azan."
Ingatanku kembali ke sore ini. Masih hujan. Dua jam lebih bercengkerama dengan Masa Kecil dan Masa Remaja. Waktu melaju tanpa terasa. Dari masjid di tengah perumahan berkumandang azan. Masa Kecil dan Masa Remaja segera menyeruput teh manis.Â
Takada penganan khas Makassar. Yang ada hanya kenangan menenangkan.
"Selamat berbuka puasa," kataku kepada mereka.
Kamu belum juga datang. Moga-moga kamu berbuka puasa bukan bersama kenangan Masa Kecil dan Masa Remaja. [kp]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H