Biasanya tengah malam buta aku terbangun dan buru-buru ke belakang, lalu pipis di jendela. Rumah panggungku memang tak punya kakus. Hanya ada satu tempat seukuran satu kali satu meter dengan sebuah gumbang dan beberapa ember berisi air. Lantainya dari kayu lontar. Licin. Mata berat dan cemas terpeleset membuatku selalu memilih jendela.
"Ketika air kencing memancur ke kebun di belakang rumah," ujar Masa Kecil menimpali, "ibu terbangun."
Aku terkesima. Rumah panggung dengan lantai dari bilah-bilah bambu yang dihaluskan dan dipasang tengkurap menari-nari di mataku.
"Air kencing itu mengenai daun pisang dan risiknya terdengar nyaring." Masa Kecil tertegun, lalu tertawa..
Ibu tidak pernah marah meskipun aku tidak pipis di jamban. Alih-alih menggerutu, beliau bawakan segayung air untukku. Ibu juga tidak pernah marah kalau aku menolak pisang goreng yang riwayatnya berasal dari rumpun pisang yang sering kukencingi. Tiap mengunyah pisang goreng itu serasa menenggak kencing sendiri.
Masa Remaja masam-mesem. "Setelah itu?"
"Kembali ke tikar daun lontar dan tidur lagi," jawab Masa Kecil.
Mataku memampang gambar buram. Ibu menghangatkan sayur dan menggoreng ikan, aku menggelung di belakangnya di atas tikar yang kuseret dari ruang tengah. Ibu memasak sambil bercerita tentang dongeng lompo golok, aku tidur sambil mendengkur.
"Tetapi aku lebih sering mengingat saat-saat berbuka puasa di masjid," ujar Masa Remaja sambil mengibaskan rambut.
Mata Masa Kecil berbinar-binar. "Ya, banyak makanan enak!"
Kepalaku kembali membentangkan gambar buram. Masjid di kampungku tepat di samping rumahku. Atapnya dari seng, lantainya dari tanah yang dialasi tikar tiga lapis, dan dindingnya dari anyaman bambu. Sejengkal lagi matahari rebah di langit barat adalah masa-masa paling dinanti. Buka bersama di pelataran masjid.