Pada syarat kedua tertera kewajiban "mampu menulis 4 (empat) masing-masing 300 kata per minggu", tetapi bayarannya "bekerja secara sukarela". Najis banget. Apa situ kira menulis tidak butuh energi? Apa situ sangka menulis semusah mengedipkan kelopak mata?
Sadarlah, duhai Bos yang Otaknya Sengklek Tiga Senti. Penulis butuh energi. Asupan energi itu berasal dari makanan. Nah, makanan itu tidak gratis. Situ kira beli beras bisa dibayar dengan satu artikel gratisan? Situ sangka nongkrong buat menjaring ide bisa dilakukan secara cuma-cuma?
Pada syarat kelima tertera kewajiban "memiliki jadwal yang fleksibel dan mampu bekerja di mana saja dengan koneksi internet yang memadai". Kebangetan. Pekerja dituntut fleksibel dengan upah "sukarela". Pemerasan intelektual. Penjajahan intelektual.
Ada, ya, bos media berotak secetek itu? Cerdasnya luar biadab. Menuntut kewajiban maksimum dengan upah nihil (bukan minimum). Benar-benar sangat cerdik. Patut mendapat tampol digital kiri dan kanan bertubi-tubi.
Pada syarat keenam tercantum tuntutan "memiliki 'attitude' yang baik dan siap menghadapi konsekuensi jika melakukan pelanggaran". Gila benar. Sungguh mencengangkan. Pekerja dikasih ancaman "konsekuensi jika melakukan pelanggaran", padahal pekerjanya gretongan. Situ waras?
Kalau tidak punya modal buat mendirikan media, mending rebahan saja di rumah. Memeras otak orang lain sungguh perbuatan yang di luar perikemanusiaan. Situ kira penulis tidak butuh makan? Kalau tidak punya uang, jangan bikin media. Huh, dasar Singlet Sobek!
***
KASUS di atas hanya satu dari sekian banyak kasus pelecehan martabat cendekia. Beberapa media daring melakukan hal serupa, hanya saja tidak terekspos ke permukaan. Penulis dibebani setor artikel dengan jadwal ketat, tetapi tidak dibayar dengan semestinya. Akibatnya tradisi kejar setoran menguat. Dampaknya, artikel yang tayang hanya mengejar sensasi.
Patut pula kita camkan, banyak slogan bombastis beredar luas di negeri fafifu. Meningkatkan minat baca misalnya. Minat baca bisa kita dongkrak apabila tersedia bacaan yang bermutu. Nah, bacaan bermutu bisa tersedia selama penulis dihargai jerih payahnya. Itu salah satu faktor.
Selain itu, perendahan martabat profesi memang kerap terjadi di negeri fafifu. Guru bantu alias guru honorer, misalnya, dituntut bekerja maksimal dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, tapi nasibnya tidak diperhatikan dengan sebaik-baiknya.
Tenaga medis, misalnya, dituntut bekerja semaksimal mungkin terutama dalam masa pagebluk korona, tetapi gaji dari Januari baru cair empat bulan kemudian. Mereka berjuang di garda depan, tetapi dapur mereka empot-empotan.
Untung saja hal itu terjadi di Republik Wasweswos. Ah, sudahlah! [kp]