Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Betapa Tidak Dihargainya Profesi Penulis di Negeri "Fafifu"

18 Mei 2021   10:46 Diperbarui: 18 Mei 2021   11:07 1700
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: inenglishwithlove.com

BENARKAH profesi penulis tidak dihargai? Oleh sebagian pihak, ya, memang benar adanya. Tidak bisa dimungkiri, selalu ada pihak yang tidak menghargai profesi kecendekiaan ini. Sebenarnya ini gosip usang, tetapi harus terus digelincirkan biar menjadi bahan ajar bagi semua kalangan.

Pada beberapa kesempatan mengisi materi lokakarya menulis, saya selalu mempertanyakan niat awal seseorang menjadi penulis. Mau apa? Kalau mau mencari uang, pasti berat. Menulis bukan pekerjaan yang dapat menjamin asap dapur terus mengepul. Ini bukan curhat seorang penulis, bukan. Ini fakta yang terjadi di negeri fafifu.

Penguasa di negeri fafifu terkesan kurang menghargai keberadaan penulis. Banyak contoh yang bisa saya kemukakan. Ambil contoh pengakuan profesi. Penguasa negeri fafifu tidak mengakui penulis sebagai salah satu profesi yang layak dicantumkan di identitas kependudukan. Lucunya, pajak bagi penulis mencapai 10% dari royalti.

Perilaku pengusaha di negeri fafifu kurang lebih sama. Banyak pengusaha yang condong melihat keterampilan menulis sebagai sesuatu yang patut dipandang enteng. Kemampuan menulis tidak dilihat sebagai aset intelektual yang patut dihargai, tetapi dipandang sebagai properti yang bisa ditakar murah.

Barangkali penguasa dan pengusaha mengira keterampilan menulis adalah sesuatu yang mudah dikuasai. Untunglah hal itu terjadi di Republik Wasweswos, bukan di Republik Indonesia. Untung hal sedemikian terjadi di negeri fafifu, bukan di Nusantara tercinta.

***

BULAN LALU saya sempat menggelindingkan isu tentang pelecehan martabat penulis. Isu itu saya gelindingkan di semua media sosial yang saya punya. Warganet kontan menyambut dengan hati bergemuruh. Wacana sontak menjadi santapan netizen.

Silakan lihat maklumat lowongan kerja berikut ini.

Dokumen Pribadi
Dokumen Pribadi
Betapa tidak dihargainya profesi penulis oleh pemilik dan pengelola media di atas. Bayangkan saja. Syarat yang mesti dipenuhi oleh penulis begitu bejibun, tetapi gajinya ditulis secara jelas dan terang benderang: mampu bekerja secara sukarela.

Woy, Bos Pekok, iblis pun enggan bekerja gretongan. Situ meminta syarat pelamar harus menguasai dasar-dasar jurnalistik, memahami PUEBI, dan memiliki perbendaharaan kata sesuai KBBI, tetapi situ sanggup meminta syarat "bekerja secara sukarela". Situ sedeng, yang?

Ketahuilah, Lubang Kancing Sempit. Seseorang butuh ilmu agar mampu menguasai dasar-dasar jurnalistik. Seseorang butuh modal supaya bisa memahami PUEBI dan memperbanyak kosakata. Situ kira ilmu itu gratis? Situ pikir, dong, sekolah dari SD hingga SMA butuh biaya.

Pada syarat kedua tertera kewajiban "mampu menulis 4 (empat) masing-masing 300 kata per minggu", tetapi bayarannya "bekerja secara sukarela". Najis banget. Apa situ kira menulis tidak butuh energi? Apa situ sangka menulis semusah mengedipkan kelopak mata?

Sadarlah, duhai Bos yang Otaknya Sengklek Tiga Senti. Penulis butuh energi. Asupan energi itu berasal dari makanan. Nah, makanan itu tidak gratis. Situ kira beli beras bisa dibayar dengan satu artikel gratisan? Situ sangka nongkrong buat menjaring ide bisa dilakukan secara cuma-cuma?

Pada syarat kelima tertera kewajiban "memiliki jadwal yang fleksibel dan mampu bekerja di mana saja dengan koneksi internet yang memadai". Kebangetan. Pekerja dituntut fleksibel dengan upah "sukarela". Pemerasan intelektual. Penjajahan intelektual.

Ada, ya, bos media berotak secetek itu? Cerdasnya luar biadab. Menuntut kewajiban maksimum dengan upah nihil (bukan minimum). Benar-benar sangat cerdik. Patut mendapat tampol digital kiri dan kanan bertubi-tubi.

Pada syarat keenam tercantum tuntutan "memiliki 'attitude' yang baik dan siap menghadapi konsekuensi jika melakukan pelanggaran". Gila benar. Sungguh mencengangkan. Pekerja dikasih ancaman "konsekuensi jika melakukan pelanggaran", padahal pekerjanya gretongan. Situ waras?

Kalau tidak punya modal buat mendirikan media, mending rebahan saja di rumah. Memeras otak orang lain sungguh perbuatan yang di luar perikemanusiaan. Situ kira penulis tidak butuh makan? Kalau tidak punya uang, jangan bikin media. Huh, dasar Singlet Sobek!

***

KASUS di atas hanya satu dari sekian banyak kasus pelecehan martabat cendekia. Beberapa media daring melakukan hal serupa, hanya saja tidak terekspos ke permukaan. Penulis dibebani setor artikel dengan jadwal ketat, tetapi tidak dibayar dengan semestinya. Akibatnya tradisi kejar setoran menguat. Dampaknya, artikel yang tayang hanya mengejar sensasi.

Patut pula kita camkan, banyak slogan bombastis beredar luas di negeri fafifu. Meningkatkan minat baca misalnya. Minat baca bisa kita dongkrak apabila tersedia bacaan yang bermutu. Nah, bacaan bermutu bisa tersedia selama penulis dihargai jerih payahnya. Itu salah satu faktor.

Selain itu, perendahan martabat profesi memang kerap terjadi di negeri fafifu. Guru bantu alias guru honorer, misalnya, dituntut bekerja maksimal dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, tapi nasibnya tidak diperhatikan dengan sebaik-baiknya.

Tenaga medis, misalnya, dituntut bekerja semaksimal mungkin terutama dalam masa pagebluk korona, tetapi gaji dari Januari baru cair empat bulan kemudian. Mereka berjuang di garda depan, tetapi dapur mereka empot-empotan.

Untung saja hal itu terjadi di Republik Wasweswos. Ah, sudahlah! [kp]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun