Kedua, tidak sehat jasmani dan rohani. Pamer senjata api membuktikan bahwa pelaku tidaklah dalam kondisi sehat rohani. Jiwanya sakit. Ia memperlakukan senjata api bagaikan mainan yang bisa dipamer sesuka hati. Ia lupa bahwa senjata api dapat memicu ketakutan. Itu teror.
Ketiga, cacat psikologis. Pemilik senjata api tidak boleh sesuka hati mengeluarkan pistol. Tujuan membela diri berbeda dengan "lari dari kenyataan" setelah berlindung di balik kuasa pistol. Bisa dibayangkan dampaknya jika pemilik senpi memperlakukan pistol seperti mengedipkan mata.
Polisi harus bertindak tegas. Teror koboi tidak bisa dibiarkan. Jangan sampai pula kasus selesai dengan permintaan maaf di atas sehelai kertas bermeterai ceban. Orang bersenjata api dan orang bersenjata hati sama kedudukannya di mata hukum. [kp]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H