Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Petuah Leluhur dan Bom Bunuh Diri di Gerbang Katedral Makassar

28 Maret 2021   16:01 Diperbarui: 28 Maret 2021   22:22 742
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gereja Katedral Makassar atau Gereja Hati Yesus Yang Mahakudus pada 1900--1919 (Foto: Tropenmuseum)

Tidak bisa dibenarkan. Tiga kata itulah yang patut disematkan pada kelakuan biadab pelaku bom bunuh diri. Sangat biadab. Dua kata itulah yang pas untuk menggambarkan pengeboman di pintu gerbang Gereja Katedral Makassar. Kalau mau satu kata, cukuplah kata ini: Terkutuk!

Dahulu kala, ketika Kerajaan Gowa-Tallo sedang jaya-jayanya, toleransi sangat terjaga. Tenggang rasa terbangun di Negeri Para Daeng tanpa pandang bulu. Jangankan kepada pendatang berbeda keyakinan, berbeda ras saja tidak menjadi masalah.

Kerukunan umat beragama di Sulawesi Selatan pun tetap terjaga. Pada 2019, berdasarkan indeks Kerukunan Umat Beragama yang dirilis oleh Kementerian Agama RI, indeks KUB Sulsel mencapai 75,70. Angka itu lebih tinggi dibanding KUB secara nasional yang berada pada angka 73,83.

Hari ini, Minggu (28/3/2021), Makassar dikejutkan oleh sebuah ledakan bom bunuh diri. Rasa kemanusiaan mendadak tertampar. Tidak heran jika ledakan bom bunuh diri di pintu gerbang Gereja Katedral Makassar menuai kecaman dari berbagai kalangan. 

Bom bunuh diri itu sangat jauh dari nilai-nilai luhur masyarakat Bugis-Makassar, sangat jauh dari kearifan lokal warisan leluhur.

Keragaman beragama di Negeri Para Daeng

Pada tahun 1525, dua pastor dan seorang misionaris dari Portugis tiba di Makassar. Vriens dalam Sejarah Gereja Katolik Indonesia mencatat kedatangan mereka. Kedatangan mereka diterima dengan tangan terbuka oleh Raja Gowa kala itu, Karaeng Tumapakrisik Kallongna.

Kedatangan Pastor Antonio do Reis, Pastor Cosmas de Annunciacio, dan misionaris Bernardinode Marvao pada 1525 mengawali masuknya Katolik di Tanah Anging Mammirik.

Penyebar agama Islam dari Tanah Melayu juga tidak dirintangi sedikit pun untuk menyebar syiar Islam di Makassar. Raja Tunijallo,  raja ke-12 di Kerajaan Gowa, mengizinkan pendatang dari Melayu untuk membangun masjid di kawasan Mangngallekana, sebelah utara Benteng Somba Opu (Mangemba, 2002:29).

Bukan hanya itu. Raja Tunijallo--I Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bontolangkasak--memelopori pemberangkatan warga beragama Islam ke Tanah Suci. Atas bantuan orang-orang Melayu, Raja Tunijallo (1565--1590) memberangkatkan warga ke Mekah untuk pertama kali dalam sejarah Kerajaan Gowa.

Penerus Raja Tunijallo, I Tepukaraeng Daeng Parekbung Karaeng Tunipasuluk, tidak bertahan lama di takhta Kerajaan Gowa. Singgasana berpindah kepada sang adik, I Mangngakrangi Daeng Manrabbia. Raja ke-14 di Kerajaan Gowa itulah yang pertama kali memeluk agama Islam. Ia pun digelari Sultan Alauddin.

Selama masa pemerintahan Sultan Alauddin, semua agama hidup berdampingan dengan damai di Kerajaan Gowa. Karaeng Matoaya, Mangkubumi Kerajaan Gowa sekaligus Raja Kerajaan Tallo, sendiri merupakan raja pertama yang memeluk Islam.

Suatu ketika, Kompeni Belanda mendesak Raja Gowa untuk berhenti menjual beras kepada selain pihak mereka. Tidak terkecuali kepada Portugis. Sultan Alauddin dan Karaeng Matoaya menolak. Patunruk dalam Sejarah Gowa (1968:21) mengabadikan kisah itu.

"Negeri saya terbuka untuk semua bangsa dan tidak ada yang saya bedakan, baik untuk Tuan maupun untuk bangsa Portugis," titah Sultan Alauddin kepada perwakilan Kompeni.

Keterbukaan itu bukan hanya dalam dunia dagang, melainkan sekaligus dalam hal beragama. Sejak tahun 1663, Sultan Alauddin secara resmi mengizinkan pendirian gereja oleh umat Katolik di seluruh wilayah Kerajaan Gowa.

Begitulah cara Sultan Alauddin menghargai perbedaan. Meskipun memeluk agama Islam, beliau sama sekali tidak melarang umat Katolik untuk membangun gereja. Kesaksian atas toleransi pada masa Sultan Alauddin banyak disebut oleh petualang dari Benua Biru.

Tersebutlah kisah Navarrette Dominggo, diceritakan oleh George Miller dalam To the Spice Islands and Beyond: Travel in Eastern Indonesia. Navarrette, biarawan yang terdampar dan menetap di Makassar pada 1641, menyaksikan keragaman beragama di Kerajaan Gowa-Tallo.

Empat petuah leluhur Makassar

Dalam kepercayaan purba Makassar, kehidupan di dunia diyakini sebagai appaka sulapak (empat persegi). Appaka sulapak terdiri atas unsur api, angin, air, dan tanah. Tiap-tiap unsur itu punya nilai norma tersendiri.

Pada angin terletak nilai sipakaingak, artinya saling mengingatkan. Jiwa manusia persis laksana angin, mudah berubah. Itulah pentingnya sipakaingak atau saling mengingatkan. Jika temanmu keliru atau bersalah, ingatkanlah. Bukan ditinggalkan atau dibiarkan begitu saja.

Pada api terdapat nilai sipakatutu, artinya saling menjaga. Jiwa manusis tiada berbeda dengan api. Jika sudah marah, hubungan darah pun bisa putus seketika. Itulah pentingnya sipakatutu atau saling menjaga. Perkerabatan dan persahabatan harus tetap erat meski dada penuh api.

Pada air terkandung nilai sipalakbirik, artinya saling memuliakan. Semua manusia butuh air, jadi seperti itulah hubungan kebersamaan. Selalu ada ketika dibutuhkan, selalu siaga kala diperlukan. Kebersamaan harus tetap kuat sekalipun kebencian membanjir. Itulah sipakalakbirik.

Pada tanah termaktub nilai sipakatau, artinya saling memanusiakan. Begitulah tanah menerima manusia. Tidak pandang bulu, tidak pilih warna. Kita mesti selalu becermin pada sikap tanah menubuhkan tabah. Itulah hakikat sipakatau.

Empat nilai itu seharusnya tetap menjadi azimat batin warga Sulawesi Selatan. Selamanya, bahkan lebih lama daripada selamanya. 

Wasana Wicara

Dari alir sejarah keragaman hingga nilai-nilai kearifan warisan leluhur Makassar, bom bunuh diri di pintu gerbang Gereja Hati Yesus Yang Mahakudus sungguh tidak bisa berterima. Kemanusiaan kita terkoyak. Batin kita terluka. Dalam. Dalam sekali.

Gereja Hati Yesus Yang Mahakudus, kita kenal juga dengan sebutan Gereja Katedral Makassar, adalah tonggak toleransi yang terpancang sejak ratusan tahun lalu. Nilai sipakatau dalam appaka sulapak jelas memastikan pentingnya saling memanusiakan.

Maka dari itu, bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar tidak bisa diterima. Apa pun alasannya, sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai kemanusiaan. Siapa pun pelakunya, telah mencederai nilai-nilai keberagaman dalam keberagamaan.

Akhirulkalam, mari berdoa sepenuh khidmat. Semoga seluruh korban akibat ledakan bom bunuh diri di pintu gerbang Gereja Katedral Makassar lekas pulih.

Damai itu menenangkan dan menyenangkan.

Salam takzim, Khrisna Pabichara (Twitter/IG: @1bichara)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun