Data. Novel membutuhkan kehadiran data. Tanpa data, novel serupa sawah kering yang lama menanti hujan. Tanpa data, novel seperti perjaka yang lama mencintai perempuan dari kejauhan.
Meski begitu, beberapa pengarang novel kesulitan melesakkan data ke dalam cerita. Jika kurang terampil, data akan berasa hambar. Malah bisa merusak bangunan cerita. Dampaknya dapat menurunkan keterikatan pembaca terhadap cerita.
Atas asumsi tersebut, kali ini saya ingin berbagi pengalaman kepada pembaca. Mana tahu ada di antara pembaca yang tertarik menulis novel, ingin memasukkan data ke dalam cerita, lalu ide tertumbuk karena kesulitan melesapkan data ke dalam narasi.
Saudara-saudara, data menguatkan cerita. Itulah fungsi data. Masalahnya, banyak penulis yang gagap menata data. Akibatnya, data menjadi tempelan belaka dan tidak renyah dibaca. Itulah manfaat artikel ini. Saya berharap setelah membaca tulisan ini, pembaca bisa mengatasi kesulitan itu.
Selamat bermain-main di taman kata.
Jurus Thi-Khi-i-Beng atau Menyerap Segala yang Tersentuh
Jurus ini saya adaptasi dari cerita silat Pedang Kayu Harum. Adalah Cia Keng Hong pemilik jurus maut itu. Nama ilmunya, Thi-Khi-i-Beng. Segala yang disentuh oleh Cia Keng Hong akan terserap tenaganya. Makin berontak makin tersedot, makin melawan makin terisap.
Begitulah semestinya cara kita menghadapi data. Kita mesti menyerap data, menyerap sedalam-dalamnya, memahaminya dengan baik, mengerti riak dan kedalamannya, setelah itu baru memasukkannya ke dalam cerita.
Ketika menganggit Transformasi Belum Selesai, buku ke-39 yang saya tulis, saya mesti berhadap-hadapan dengan data. Pada halaman 119, saya harus menceritakan soal anak sang tokoh yang mengidap penyakit langka. Data mesti tersaji, tetapi harus dibumbui agar tidak berasa hambar.
Beginilah hasilnya.
… Hati Mira teramat nelangsa. Ia tidak sanggup melihat putrinya yang masih berusia empat tahun menanggung derita. Kata dokter, Viola mengidap penyakit bawaan. Sambungan ginjal kanan dan ureter tidak sempurna.
Begitulah cara saya menata narasi tentang kelainan ginjal. Saya serap dulu datanya baru saya tuangkan ke dalam cerita. Saya buka sajian data dengan penderitaan yang dialami oleh Viola, lalu saya udar kalimat pengantar yang ringkas dan jelas.
Mari kita simak lanjutannya.
Akibatnya, air seni yang seharusnya mengalir dengan lancar keluar sebagian besar tertahan di dalam ginjal. Rupa dan fungsi sambungan antara ginjal dan ureter tumbuh secara tidak normal. Air seni tidak keluar dari ginjal dengan semestinya. Pelviureteric Junction Obstruction. Begitu sebutan ilmiah kelainan itu. Dalam dunia kedokteran kerap disingkat menjadi PUJO.
Saya tidak harus menjadi nefrolog, dokter spesialis ginjal, untuk mengurai kelainan ginjal. Sama seperti saya tidak harus membunuh orang hanya untuk mendeskripsikan keadaan dalam penjara. Saya hanya perlu membaca, memahami, dan menelaah data.
Bekal saya sederhana, Thi-Khi-i-Beng. Menyedot data sebanyak-banyaknya, kemudian mengurai data itu dalam kata-kata yang sederhana. Syahdan, Asmaraman S. Kho Ping Hoo juga tetap di rumahnya, tetapi beliau dapat menggambarkan Tiongkok dengan sempurna. Bekal beliau cuma History of China dan peta Tiongkok.
Kuncinya, perkaya kosakata. Jika harta kata kita banyak, kalimat sederhana akan mengalir sendiri.
Jurus Dewa Topan Menggusur Gunung
Inilah jurus kedua yang kerap saya praktikkan ketika mengolah data. Jurus ini merupakan andalan si Tua Gila,. Jurus itu ia wariskan kepada Wiro Sableng, murid sahabatnya--Eyang Sinto Gendeng. Jurus itu tertera dalam serial Wiro Sableng anggitan Bastian Tito.
Data saya tamsilkan sebagai gunung. Narasi saya ibaratkan kepalan berkekuatan dahsyat. Dalam sekali tinju, gunung tergusur. Dalam sekali mengetik, data tersebar ke dalam cerita. Begitulah pola yang sering saya gunakan. Data sebesar gunung saya kikis pelan-pelan.
Begini contohnya.
“… Kamu primadona panggung di festival ini. Penampilanmu memukau, ekspresimu menakjubkan. Wajahmu seperti bersaput pesona cenning rara,” ujar Pak Ramli sambil tersenyum ramah.
Data tentang cenning rara, mantra purba dari tanah Bugis, tidak langsung saya buka dengan uraian yang kaku. Saya tidak menggunakan “cenning rara adalah” atau pengantar datar lainnya. Saya membuka uraian data dengan kalimat “wajahmu seperti bersaput cenning rara”.
Perkara cenning rara saya babar dalam buku ke-40 saya, novel Lakuna, sebagai gagasan utama atau fondasi cerita. Saya mesti menyampaikan kearifan lokal Bugis itu dengan baik agar dapat dicerna oleh khalayak pembaca dari segala suku.
Agar data bernyawa, saya imbuhkan konflik.
“Cenning rara?” tanya Naya dengan alis sedikit terangkat.
Pak Ramli mengangguk. “Semacam mantra untuk menguatkan aura.”
“Saya malah tidak tahu-menahu tentang cenning rara, Pak.” Naya menceratuk dan mencabuti rumput karena semua orang memperhatikannya. Dia jengah melihat semua mata tertuju kepadanya. Pelan-pelan dia menengadah dan berkata, “Pernah dengar, sih, tetapi Naya tidak pakai begituan.”
Saya gambarkan bahwa dewasa ini banyak orang yang salah paham atas cenning rara. Rata-rata orang menyangka bahwa cenning rara semacam persekutuan dengan setan. Gunanya untuk menguatkan aura. Padahal, tidak begitu.
Setelah itu, saya uraikan perkara cenning rara dengan tedas.
“Jangan tersinggung, Naya. Cenning rara bukan sesuatu yang buruk. Dahulu kala, orang-orang selalu menunggu datangnya bulan purnama dan merayakannya penuh sukacita. Tua-muda, lelaki-perempuan, semuanya.”
Perhatikan cara saya menguraikan cenning rara. Pelan, tetapi asyik. Secara umum, cenning rara memang dipahami sebagai karisma yang memancar dari kekuatan batin seseorang. Karisma itu, konon, diserap dari cahaya purnama. Itu sebabnya disebut cenning (wajah) dan cendrara (bulan).
Guna menguatkan deskripsi data, saya comot sejarah tentang penggunaan cenning rara hingga jauh ke benua Afrika. Data itu saya masukkan ke dalam dialog, bukan ke dalam narasi. Alasan saya sederhana, menguatkan sajian data.
“Bahkan jauh dari tanah Bugis-Makassar, orang-orang kita yang dibuang Belanda ke Afrika Selatan pun masih senang bermandi cahaya purnama. Tujuannya, menyerap cenning rara.”
Setelah menggambarkan rekam perjalanan cenning rara yang menempuh ratusan tahun dan lintas benua, barulah saya kembalikan pada kondisi hari ini.
Beliau berhenti sejenak dan tersenyum. “Sekarang, kita melihat cenning rara sebagai sesuatu yang negatif. Sekadar sebagai ayat-ayat pemikat hati bagi lawan jenis. Padahal, tidak begitu.”
Begitulah cara saya menggunakan tenaga dewa topan untuk menggusur gunung data. Kalau masih penasaran soal pernak-pernik cenning rara, silakan baca novel terbaru saya. Lakuna. Ini bukan soal pariwara terselubung, ini perkara bagaimana menata data agar enak dibaca.
Dua jurus itu, Thi-Khi-i-Beng dan Dewa Topan Menggusur Gunung tidak bisa dipraktikkan sekali jadi. Mesti dilatih berkali-kali, mesti diuji berhari-hari. Pepatah mengingatkan kita: sedikit demi sedikit, lama-lama habis. Eh, maaf, lama-lama menjadi bukit.
Maka dari itu, berlatihlah meramu data. Berlatihlah mengurai angka dan statistik ke dalam isi cerita atau narasi. Selamat mencoba. [kp]
Baca juga:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H