"Tidak ada yang mudah dalam hidup nan sederhana ini."
"Jostein Gaardner."
Ibu Nirmala menggeleng. "Bukan!"
"Siapa, Ma?"
"Andi Nirmala Patorani!"
Begitulah. Saya memadukan Timur dan Barat. Saya memadankan keduluan dan kekinian. Saya menyandingkan kearifan lokal dengan filsafat. Pemaduan, pemadanan, dan penyandingan itu mesti saya upayakan agar lesap dan lesak ke dalam cerita.
***
Menubuhkan jiwa lokalitas ke dalam raga cerita jelas tidak mudah. Selain mesti memahami dan mendalami lokalitas itu sendiri, kita juga mesti menguasai teknik menumpahkannya ke dalam cerita. Jika asal-asalan, hasilnya bisa saja hambar.
Saya kencangkan sekrup lokalitas dengan menggunakan cenning rara (mantra pengasih), doti (teluh), dan guna-guna (tulah). Mistik merupakan ramuan menarik untuk meracik cerita.
Terlepas bahwa saya memang menyukai sastra daerah Bugis-Makassar, baik lisan maupun tutur, saya gigih berusaha melestarikan warna lokal ke dalam kisah yang saya gubah. Kelak jika nanti saya sudah tiada, setidaknya pembaca bisa mengenang saya sebagai penulis yang setia menceritakan tanah kelahirannya.
Selamat mencoba. [kp]
Baca juga: