Empat tahun lalu, 21 Maret 2017, seorang sahabat sekaligus pembaca setia novel anggitan saya mengungkap harapannya kepada saya. Faisal Oemar Massiry, biasa saya sapa Kaka Fai, berharap agar saya terus menggali kearifan lokal Bugis-Makassar dari naskah Lontarak.
Padahal tanpa diminta sekalipun, kearifan lokal selalu menempati posisi vital dalam cerita anggitan saya. Bukan bumbu penyedap cerita, melainkan bahan utama "masakan cerita". Begitu selalu, begitu hingga hari ini.
Siang ini, hasrat menulis menonjok hati saya. Maka, jadilah artikel ini. Selamat bermain di taman kata. Moga-moga berguna.
***
Jurus Menyisir Masa Lalu
Inilah kembangan pertama. Saya kaji beberapa Lontarak. Manuskrip bertuliskan aksara Lontarak saya dapatkan di Perpusnas. Selain itu, pada 2017, saya pulang kampung. Saya berkunjung ke Kabupaten Bone, Soppeng, dan Wajo. Saya berburu naskah Lontarak di Sulawesi Selatan.
Materi dalam naskah kuno saya kumpulkan. Petuah leluhur berupa pappasang (Makassar) dan pappaseng (Bugis). Saya telaah dengan telaten, amati dengan teliti, kemudian saya transliterasi dari aksara Lontarak ke dalam aksara Latin.
Jurus Menyisir Masa Lalu tidak berhenti di situ. Setelah transliterasi, saya terjemahkan. Kala itu, 2017, saya belum tahu hendak saya apakan petuah leluhur itu. Pendekkan kata, tulis saja. Pada 2019, terbetiklah hasrat untuk melestarikan Pakarena dan Paraga ke dalam cerita.
Petuah leluhur mendapat tempat. Pappasang dan pappaseng merasuki tubuh novel Lakuna. Cinta antara Andi Nayanika Marennu dan Emir Sulaiman Makkarawa menuju pelaminan. Muncullah adat assitinaja. Dalam bahasa Indonesia disebut kepatutan.
Assitinaja amat kental dalam proses akmanuk-manuk (Bugis) atau akjangang-jangang (Makassar). Dua jiwa mesti ditilik patut dan layaknya menyatu di bahtera rumah tangga. Hadirlah pappaseng: patudangngi tudammu, puonroi onromu (duduki kedudukanmu, tempati tempatmu).
Pappaseng itu bukan tempelan belaka. Ia menjadi roh cerita. Tidaklah bisa seorang lelaki atau perempuan duduk di pelaminan sebelum jelas dari mana asalnya, bagaimana tabiatnya, dan apa saja yang telah ia lakukan. Itulah esensi akmanuk-akmanuk (Lakuna, 253).
Agar tidak membosankan, saya lesapkan pappaseng itu ke dalam dialog. Bukan sekadar percakapan, melainkan membangun konflik cerita, memengaruhi alur cerita, dan menentukan intensi cerita.