Mula-mula Joko Widodo, baru Jokowi. Cicil. Angsur. Jangan langsung main tumplek dalam alinea pertama atau satu alinea. Ketika masuk atribusi berikutnya, variasikan. Banyak yang bisa kita gunakan. Contoh: mantan Wali Kota Surakarta, Presiden RI, Presiden ke-7 RI.
Dalam Deciding What’s News (1979), Herbert J. Gans mengatakan bahwa sumber atribusi adalah proses jurnalis mengidentifikasi orang-orang yang telah memberikan informasi. Dengan begitu, atribusi memastikan siapa yang menyatakan, apa yang dinyatakan, dan kapan menyatakannya.
Dosa gara-gara keliru data dan atribusi
Hati-hati, Coy. Keliru data dan atribusi bisa menghasilkan devisa dosa. Saya kasih contoh mudah. Khrisna Pabhicara. Kesalahan pengejaan. Penulisan yang tepat adalah Khrisna Pabichara. Contoh lagi: Khrisna, penulis bertubuh kerempeng. Keliru data. Berat badan saya sempat susut pasca terpapar tipes dan korona, tetapi sekarang 14 kilogram yang susut itu pelan-pelan mulai kembali.
Kesalahan sepele seperti itu jangan kita anggap dosa kecil. Kalaupun kita duga hanya dosa kecil, jangan sering kita lakukan. Setumpuk demi setumpuk lama-lama menjadi gunung. Dosa-dosa kecil berpotensi menjadi dosa besar apabila kita lakukan berkali-kali.
Kesalahan lain yang mungkin kerap kita abaikan, yakni kesalahan pencantuman. Lalai tidak mencantumkan narasumber atau sumber informasi. Ada dua kemungkinan, bisa karena benar-benar lalai atau main jiplak. Agar terjauh dari prasangkan plagiat, cantumkan narasumber atau sumber informasi.
Selanjutnya, kesalahan pemilihan. Sesuaikan narasumber atau sumber informasi dengan pokok tulisan. Jika menulis tentang sakit hati, nukil pendapat psikiater atau psikolog. Tidak semua dokter mumpuni dalam menyelami, memahami, dan menangani sakit hati.
Berikutnya, kesalahan penekanan. Makna data, pendapat, atau pernyataan bisa bergeser apabila kita salah memberikan atau meletakkan tekanan. Bisa kurang, bisa lebih. Ambil contoh begini. Nike Ardilla, penyanyi berparas ayu. Pembaca bisa tergiring pada paras ayu Nike. Bedakan dengan ini: Nike Ardilla, penyanyi bersuara merdu dan berparas ayu. Itu pun kalau kita ngeyel memuat parasnya.
Sebisa mungkin, hindari kesalahan-kesalahan di atas. Kompasianer mesti memperhatikan secara saksama kesalahan itu agar tidak terjadi. Jangan ingat: tidak ada kesalahan saja bisa terjebak di dalam karantina mesin pemeriksa, apalagi ada dan banyak kesalahan.
Kuliah panjang dan bertele-tele. Saya sebut kuliah karena mungkin sekarang Kompasianer dipandang “kuli ah”. Hehehe. Mungkin, ya. Faktanya, musabab karantina tidak jelas hingga sekarang.
Saya sebut panjang karena artikel ini memuat 1238 kata. Adapun bertele-tele karena, ya, memang inilah gaya Khrisna. Tulisannya tidak jelas. Nirfaedah. [kp]