Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Mengulik Akurasi Data dan Atribusi dalam Artikel

20 Maret 2021   07:07 Diperbarui: 20 Maret 2021   11:46 3523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Periksa data dan atribusi sebelum Anda agihkan artikel ke hadapan pembaca (Foto: Unsplash/Trent Erwin)

Apa kabar, Kompasianer? Moga-moga kalian, tanpa kecuali, senantiasa sehat dan bahagia. Pagi ini saya ingin mengajak Anda bertamasya ke taman kata. Mari bersenang-senang bersama data dan atribusi.

Kita mulai dari erti data. Dalam sebuah tulisan, data memiliki posisi yang sangat strategis. Jika kita salah menerakan data, keabsahan tulisan kita patut dipertanyakan. Secara sederhana, data dapat kita maknai sebagai informasi atau keterangan yang benar dan nyata.

Selanjutnya, kita ulik dulu arti atribusi. Dalam satu tulisan, kita mesti memberi tahu pembaca dari mana data kita dapatkan. Ketika informasi yang kita cantumkan ke tubuh tulisan berasal dari pernyataan atau perkataan seseorang, atribusi narasumber harus jernih dan terang.

Berikutnya, kita selami makna akurasi. Definisi kata akurasi adalah ‘kecermatan, ketelitian, atau ketepatan’. Dengan demikian, data dan atribusi dalam tubuh tulisan harus memenuhi tiga syarat itu. Ketika memuat data dan atribusi, kita mesti cermat, teliti, dan tepat. Harus akurat!

Tiga hal itu yang akan saya udar sepagi ini. Semoga Anda tidak terberati. 

Periksa, catat, dan sunting (Foto: Shutterstock)
Periksa, catat, dan sunting (Foto: Shutterstock)

Kaidah memuat data dan atribusi

Belakangan ini karantina massal atas artikel Kompasianer kerap terjadi. Pelakunya jelas, mesin penguji akurasi. Operator mesinnya, Administratur Kompasiana. Kuasa mesin penguji akurasi amat dominan. Dalam menguji naskah, mesin penguji cenderung berlaku tiran, condong otoriter, dan naga-naganya sewenang-wenang.

Tidak bisa kita mungkiri, Kompasianer yang tulisannya sempat terjerat perangkap mesin penguji datang dari berbagai kalangan. Termasuk akademisi dan praktisi. Ajaibnya, kita tidak mengerti “kata” apa saja yang tergolong ranjau di "benak" robot penguji.

Meskipun sempat mangkel tak tepermanai, saya tidak akan mengulas hal itu. Bosan. Seberapa sering pun saya agihkan tulisan macam itu, mana ada tanggapan dari pengelola Kompasiana. Cuek bebek. Jika terus begitu, lama-lama Kompasianer di mata Kompasiana dipandang macam anak kos-kosan belaka. Hiks!

Jadi, mari kita teliti sendiri data dan atribusi kita sebelum menayangkan tulisan di Kompasiana. Sebelum tayang, ayo kita periksa dulu tulisan kita. Ajukan lima pertanyaan berikut sebagai alat periksa.

  1. Apakah pijakan gagasan dan bingkai opini sudah sesuai dengan tema tulisan yang kita sajikan?
  2. Apakah tulisan kita sudah bersih dari kata, frasa, klausa, atau kalimat yang menyerang tanpa alasan atau menyakiti tanpa sebab atas satu atau beberapa pihak?
  3. Apakah data dan atribusi yang kita sajikan sudah benar, tepat, dan sesuai dengan kebutuhan gagasan?
  4. Apakah data dan atribusi yang kita kutip ke dalam tulisan sudah sesuai dengan sumber asal dan pas dengan opini yang kita suguhkan?
  5. Apakah kita sudah memeriksa kebenaran data, serta ketepatan penulisan nama dan jabatan narasumber?

Lima pertanyaan itu mesti menemukan jawaban “ya” sebelum kita tayangkan. Harus bersih dari bias, harus bebas dari hoaks. Itu kalimat kuncinya. Khusus untuk pertanyaan kelima, upayakan mengonfirmasi data atau kutipan kepada narasumber.

Saran Deborah Howel (dalam Kovach dan Rosentiel, 2004) patut kita indahkan ketika kita memuat kutipan. Howel melarang kita memuat atau menggunakan narasumber yang anonim. Atribusi mesti akurat. Anonimitas melemahkan argumentasi kita.

Saran saya juga perlu Kompasianer camkan: jangan berani-berani mengubek-ubek, mengobok-obok, atau mengutak-atik pendapat orang lain agar tampak seperti opini sendiri. Hanya dengan mengubah redaksi kalimat, pernyataan orang lain kita daulat sebagai pernyataan sendiri. Jangan begitu, Kawan! Itu maling namanya.

Apalagi sampai seluruh isi tulisan orang kita comot habis-habisan, lalu kita akui sebagai karya sendiri. Jauhi tabiat sedemikian. Itu plagiarisme kelas kakap. Bahkan, andaikan lolos dari amatan robot penguji akurasi pun kita masih harus mendengarkan bisikan nurani. Maling paling bangsat adalah maling intelektual.

Pandanglah artikel Anda sebagai cakrawala yang utuh (Ilustrasi: brnoexpatcentre.eu)
Pandanglah artikel Anda sebagai cakrawala yang utuh (Ilustrasi: brnoexpatcentre.eu)

Cara mencantumkan data dan atribusi

Data berpotensi ambigu alias taksa jika kita salah tulis. Pak Lurah mengelus burungnya berbeda dengan Pak Lurah mengelus "burungnya"Tanda petik (“…”) yang mengapit kata burungnya tidak semakna dengan kata burungnya tanpa tanda petik. Sekilas tampak biasa, tetapi berakibat fatal.

Itulah sebabnya mengapa kita mesti amat teliti, bahkan dalam pemakaian tanda baca. Periksa dengan cermat. Itu baru pada tataran penulisan, belum penganalisisan. Jika kita keliru menganalisis data, pembaca berpotensi tersesat.

Kisah tiga orang tunanetra yang ingin mengetahui bentuk fisik seekor gajah bisa menjadi cermin. Jika kita membaca data hanya dengan memegang ekor gajah, kita menyebut gajah besarnya hanya seperti ekor. Begitu pula jika hanya meraba belalai dan kuping gajah. Malahan, tiga bagian itu belum layak disebut gajah. Jadi, utuhkan analisis sebelum kita cantumkan ke dalam tulisan.

Manakala kita cantumkan kutipan, atribusinya mesti akurat. Salah nama bisa salah jabatan atau profesi. Felix Tani berbeda dengan Felix Siauw. Rudy Gunawan berbeda dengan Rudy Hartono. Jadi, pada penamaan pertama tulis dulu nama utuh. Selanjutnya baru gunakan nama sapaan.

Varian atribusi juga mesti kita timbang dan takar dengan secermat-cermatnya. Jangan gunakan sapaan yang menjurus pada penghinaan fisik atau pelecehan seksual. Varian atribusi bertujuan agar pembaca tidak bosan sekaligus pemastian jabatan atau profesi, bukan pelecehan.

Perhatikan contoh varian atribusi dan urutannya untuk Felix Tani.

  • Felix Tani
  • Felix
  • Engkong Felix
  • Sosiolog yang senang mangkal di Gang Sapi
  • Penyuka kopi Kalosi
  • Penganjur paham kenthirisme
  • Bapak ideologis Poltak dan Berta

Jauhkan varian atribusi seperti di bawah ini.

  • Felix Tani
  • Sosiolog berkepala botak
  • Peneliti berpantat tepos
  • Periset yang kerap mengajukan analisis receh
  • Penyuka kopi yang jarang mandi

Berdasarkan contoh di atas, kita bisa menerakan atribusi bagi Lionel Messi seperti ini.

  • Lionel Messi
  • Messi
  • Penyerang Barcelona
  • La Pulga
  • Si Kutu dari Argentina
  • Seniman lapangan hijau

Pada umumnya, atribusi dalam artikel memuat nama lengkap dan jabatan narasumber. Atribusi awal memakai nama lengkap, selanjutnya nama sapaan (jika narsum berasal dari Indonesia) atau nama kedua (jika narsum berasal dari luar, terutama Eropa dan Amerika).

Mula-mula Joko Widodo, baru Jokowi. Cicil. Angsur. Jangan langsung main tumplek dalam alinea pertama atau satu alinea. Ketika masuk atribusi berikutnya, variasikan. Banyak yang bisa kita gunakan. Contoh: mantan Wali Kota Surakarta, Presiden RI, Presiden ke-7 RI.

Dalam Deciding What’s News (1979), Herbert J. Gans mengatakan bahwa sumber atribusi adalah proses jurnalis mengidentifikasi orang-orang yang telah memberikan informasi. Dengan begitu, atribusi memastikan siapa yang menyatakan, apa yang dinyatakan, dan kapan menyatakannya.

Periksa lagi data dan atribusi, lagi dan lagi (Foto: lemongrad.com)
Periksa lagi data dan atribusi, lagi dan lagi (Foto: lemongrad.com)

Dosa gara-gara keliru data dan atribusi

Hati-hati, Coy. Keliru data dan atribusi bisa menghasilkan devisa dosa. Saya kasih contoh mudah. Khrisna Pabhicara. Kesalahan pengejaan. Penulisan yang tepat adalah Khrisna Pabichara. Contoh lagi: Khrisna, penulis bertubuh kerempeng. Keliru data. Berat badan saya sempat susut pasca terpapar tipes dan korona, tetapi sekarang 14 kilogram yang susut itu pelan-pelan mulai kembali.

Kesalahan sepele seperti itu jangan kita anggap dosa kecil. Kalaupun kita duga hanya dosa kecil, jangan sering kita lakukan. Setumpuk demi setumpuk lama-lama menjadi gunung. Dosa-dosa kecil berpotensi menjadi dosa besar apabila kita lakukan berkali-kali.

Kesalahan lain yang mungkin kerap kita abaikan, yakni kesalahan pencantuman. Lalai tidak mencantumkan narasumber atau sumber informasi. Ada dua kemungkinan, bisa karena benar-benar lalai atau main jiplak. Agar terjauh dari prasangkan plagiat, cantumkan narasumber atau sumber informasi.

Selanjutnya, kesalahan pemilihan. Sesuaikan narasumber atau sumber informasi dengan pokok tulisan. Jika menulis tentang sakit hati, nukil pendapat psikiater atau psikolog. Tidak semua dokter mumpuni dalam menyelami, memahami, dan menangani sakit hati.  

Berikutnya, kesalahan penekanan. Makna data, pendapat, atau pernyataan bisa bergeser apabila kita salah memberikan atau meletakkan tekanan. Bisa kurang, bisa lebih. Ambil contoh begini. Nike Ardilla, penyanyi berparas ayu. Pembaca bisa tergiring pada paras ayu Nike. Bedakan dengan ini: Nike Ardilla, penyanyi bersuara merdu dan berparas ayu. Itu pun kalau kita ngeyel memuat parasnya.

Sebisa mungkin, hindari kesalahan-kesalahan di atas. Kompasianer mesti memperhatikan secara saksama kesalahan itu agar tidak terjadi. Jangan ingat: tidak ada kesalahan saja bisa terjebak di dalam karantina mesin pemeriksa, apalagi ada dan banyak kesalahan.

Setelah yakin tidak ada kesalahan data dan atribusi, silakan agihkan artikel Anda (Foto: blog.edx.org)
Setelah yakin tidak ada kesalahan data dan atribusi, silakan agihkan artikel Anda (Foto: blog.edx.org)
Demikianlah kuliah tentang akurasi data dan atribusi.

Kuliah panjang dan bertele-tele. Saya sebut kuliah karena mungkin sekarang Kompasianer dipandang “kuli ah”. Hehehe. Mungkin, ya. Faktanya, musabab karantina tidak jelas hingga sekarang.

Saya sebut panjang karena artikel ini memuat 1238 kata. Adapun bertele-tele karena, ya, memang inilah gaya Khrisna. Tulisannya tidak jelas. Nirfaedah. [kp]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun