Habis Dayana terbitlah Gothamchess, habis Microsoft terbitlah BWF. Netizen Indonesia lagi-lagi makan korban. Kali ini tidak tanggung-tanggung. Jika sebelumnya hasil riset Microsoft menyebut netizen Indonsia paling tidak sopan se-Asia Tenggara, sekarang malah merambah Eropa.
Mohammad Ahsan bingung. Ia merasa janggal. Setelah bersama Hendra Setiawan mengalahkan pasangan tuan rumah, Sean Vendy/Ben Lane, tidak tampak raut gembira di wajah ofisial. Koh Herry juga bermuka masam. Padahal, Ahsan dan Hendra menang.
Setelah menanyakan sebab kemuraman Koh Herry, Ahsan kehilangan asa. "Mereka bilang, kita semua harus pulang. Besok nggak boleh main lagi," ujar Ahsan kepada Bolalob.com.
Lebih tepatnya, tim Indonesia dipaksa mundur alias angkat koper. Usut punya usut, Ahsan makin merasa aneh. Menurut Ahsan, Hendra mendapat surel peringatan dari National Health Service (NHS). Peringatan itu dilayangkan NHS karena Koh Hendra sepesawat dengan penderita korona.
Lucunya, Ahsan juga satu pesawat dengan Hendra, bahkan duduk di sebelahnya. Ajaibnya, ia tidak menerima surel peringatan. Barangkali NHS mengira Babah Ahsan naik sepeda ke Birmingham.
O, tidak hanya Ahsan. Tiga anggota kontingen Indonesia juga tidak menerima surel. Makin aneh. Irwansyah (Asisten Pelatih), Gilang (Terapis), dan Iwan Hermawan (Pengurus PBSI). Padahal, tiga orang itu sepesawat dengan 20 anggota kontingen yang menerima surel peringatan.
Lebih ajaib lagi, seorang pemain Turki yang sepesawat dengan tim Indonesia tidak dipaksa mundur.
"Pagi ini saya mendapat informasi, ya, bagaikan disambar geledek. Timnas Indonesia dipaksa mundur," ujar Agung Firman Sampurna, Ketua Umum PBSI, dalam konferensi pers hari ini (Kamis, 18/3/2021), sebagaimana dikutip oleh detik.com.
Lebih lanjut, Agung menyatakan bahwa pihaknya ingin membuat kesan "baik-baik saja". Artinya, ia tidak ingin gara-gara Indonesia angkat koper lalu hubungan antarlembaga dan antarnegara menjadi retak. Meski begitu, ada beberapa fakta yang patut disebar kepada khalayak.
Apa saja fakta itu? Secara ringkas saya bisa ringkus di sini. Pertama, ketidakjelasan informasi. Tiap seseorang ingin menikmati layanan transportasi kapal terbang, pasti sudah mengajukan kelengkapan administrasi soal korona. Mengapa penumpang yang terpapar korona bisa berada di dalam pesawat?
Kedua, ketidakakuratan data. Empat anggota kontingan tidak menerima surel peringatan, padahal kontingen Indonesia satu pesawat. Bagaimana bisa NHS tahu data tentang penumpang terpapar korona, tetapi gagal mendeteksi empat anggota kontingen Indonesia di pesawat yang sama?
Ketiga, ketidakadilan perlakuan. Ofisial dan pemain Turki juga berada di dalam pesawat yang sama. Apabila logika "kontak dekat" menjadi dalih diskualifikasi, sudah sebut saja begitu, maka tim Turki juga mesti angkat kaki dari All England.
Fakta itu tiba di tangan netizen Indonesia. Mengamuklah mereka. Jiwa barbar merasa terpanggil. Laman Instagram BWF kontan diserbu netizen Indonesia. Rupa-rupa kata mencuat di kolom komentar. Dari yang halus hingga yang kasar. Ada semua.
Netizen Indonesia memang begitu. Tidak tahu perkara saja bisa urunan komentar, apalagi kalau tahu perkara. Salah saja masih bisa berkilah "jangan baper, aku bercanda", apalagi kalau merasa benar. Terlebih lagi, bulutangkis merupakan ladang gelar bagi pemain Indonesia.Â
Habislah akun BWF dilalap netizen Indonesia. Memang akar masalahnya bukan terletak pada BWF selaku panitia penyelenggara All England. Semuanya karena kebijakan NHS. Ada aturan penanganan korona yang mesti dipatuhi. Namun, kenapa tidak konsisten?
Jadilah BWF sasaran ketidakpuasan netizen Indonesia. Apakah serbuan dan keroyokan netizen Indonesia disebut sebagai barbarisme komentar? Jika ditanyakan kepada periset Microsoft, bisa jadi jawabannya "ya".
Hanya saja, dalam sisi tertentu bisa juga dimaklumi. Kabar tentang pemain Turki sepesawat dengan pemain Indonesia bukanlah hoaks. Faktanya begitu. Selain itu, BWF memajang maklumat mundur paksa kontingen Indonesia di Instagram dan Twitter. Mestinya di laman BWFÂ saja, biar tidak jadi sasaran amuk kesal netizen Indonesia.
Lebih nahas lagi, kolom komentar dibuka lebar-lebar. Seolah-olah BWF mempersilakan netizen Indonesia membuktikan kekhidmatan atas sila ketiga Pancasila. Dalam urusan berkomentar di media sosial, netizen Indonesia sudah putus urat ngeri. Yang tersisa tinggal otot nyali.
Untung sekarang kolom komentar sudah ditutup. Uh! Padahal, saya belum ikut misuh-misuh. [kp]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H