Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Bapak Daripada, Kuningisasi, dan Kebrutalan Pengistilahan Rezim Orba

13 Maret 2021   10:43 Diperbarui: 13 Maret 2021   11:26 999
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suharto dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia (Foto: Kompas/Pat Hendranto)

"Ada orang yang pidatonya menggunakan berpuluh-puluh kali kata 'daripada' yang tidak menuruti aturan kebahasaan. Orang yang terlalu banyak menggunakan kata 'daripada' yang tidak tepat dapat dijuluki 'Bapak Daripada'." ~ Jusuf Sjarif Badudu

Pak Badudu memang tidak punya otot gentar. Urat takutnya sudah putus. Tanpa tedeng aling-aling, beliau langsung memilih diksi "Bapak Daripada". Gelar itu, bagi Badudu, pas disematkan kepada Bapak Suharto seperti halnya gelar "Bapak Pembangunan".

Memang beliau tidak secara langsung menunjuk hidung Suharto, tetapi rakyat Indonesia tahu benar siapa nama tokoh yang paling getol menggunakan kata 'daripada'. Tiada lain tiada bukan, Haji Muhammad Suharto namanya, Bos besar dari Kerajaan Cendana yang sangat antikritik.

Pada masa ketika kritik menjadi sesuatu yang tabu bagi kubu Suharto, Badudu tidak mau tahu. Pendekar bahasa kelahiran Gorontalo, 19 Maret 1926, tidak sekali-dua kali "menggelitiki" cara Bos Besar menggunakan bahasa Indonesia. Berkali-kali.

Kritik terbuka itu beliau wacanakan lewat tulisan kebahasaan di Majalah Intisari, lantas kemudian dimasukkan ke dalam buku dengan judul Inilah Bahasa Indonesia yang Benar (1989). Merasa tidak mempan, kritik ia lontarkan lewat siaran Pembinaan Bahasa Indonesia di TVRI.

Namun, kependekaran Badudu bukan sebatas mengkritik penguasa Orde Baru. Kritik tajam beliau ditujukan kepada siapa saja yang gemar merusak bahasa Indonesia. Kala itu, perusakan bahasa Indonesia memang bermula dari Suharto, turun kepada menteri-menterinya, hingga menular ke mana-mana.

Jusuf Sjarif Badudu sang Pendekar Bahasa (Foto: Kompas/Kartono Riyadi)
Jusuf Sjarif Badudu sang Pendekar Bahasa (Foto: Kompas/Kartono Riyadi)
Berikut saya sajikan beberapa istilah pada masa Orde Baru yang sedarah sekeluarga dengan penyimpangan penggunaan daripada.

Pertama, paduan suara akhiran "-keun". Mula-mula Suharto. Jarang benar jenderal pemilik lahan pertanian luas di kawasan Tapos, Jawa Barat, itu melafalkan akhiran "-kan" dengan benar. Selalu "-keun". Lama-lama anak buahnya di pemeritahan ikut-ikutan. Koor akhiran "-keun" pun bergema.

Ajaibnya, pejabat dari selain suku Jawa pun turut serta meramaikan paduan suara. Seolah-olah pidato atau sambutan kurang semarak jika akhiran "-kan" dilafalkan dengan benar.

Kedua, program kuningisasi. Sesungguhnya kata kuning tidak bisa dipadankan dengan bentuk terikat "-isasi". Namun, tidak semua pakar bahasa berdaya menentang dan menantang Bos Besar. Kuningisasi merajalela. Istilah penguningan pun dikalahkan oleh kuningisasi.

Pagar dan dinding rumah dikuningkan. Gedung perkantoran disatuwarnakan. Toko-toko dibubuhi bedak warna kuning. Pohon-pohon disemir kuning. Bendera partai yang berkibar mesti berwarna kuning. Semua harus kuning. Itulah kuningisasi, sebuah kata yang sebenarnya bermakna "penggolkaran".

Selain kuningisasi, istilah lamtoronisasi, spiralisasi, dan turinisasi turut menggalak. Pendek kata, apa saja gerakan yang digalakkan oleh pemerintah akan disemati bentuk terikat "-isasi".  

Ketiga, gerakan mawas diri. Gerakan ini dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif. Tidak heran jika ajakan mawas diri sontak disambut baik oleh berbagai kalangan. Pejabat yang tidak menyukseskan istilah mawas diri bisa kena sentil. Lucunya, wawasan tetap digunakan. Jikalau mau konsisten keliru, mestinya kata wawasan ditukar dengan mawasan.

Anehnya, dosen bahasa pun memakai mawas diri. Mereka lupa bahwa kata yang tepat adalah wawas diri. Akibat dosen keliru, mahasiswa juga ikut keliru. Sebagian mahasiswa kelak menjadi guru. Murid-muridnya nanti serempak memakai mawas diri. Terjadilah kekeliruan massal. Terjadi hingga hari ini.

Keempat, penghalusan derita. Ketika kemampuan ekonomi masyarakat menurun, rezim Orde Baru sontak mengajak masyarakat untuk bersama-sama "mengencangkan ikat pinggang". Istilah itu, syahdan, berasa lebih patriotik dibanding berhemat.

Lucunya, anggota keluarga Kerajaan Cendana tidak ikut mengencangkan ikat pinggang. Bisnis si sulung Tutut makin menggurita. Bambang juga begitu. Tommy merajalela lewat Humpuss. Tiga putra Bos Besar itu sempat masuk dalam jajaran 10 besar orang terkaya di Indonesia.

Jika terjadi malapetaka kelaparan, kata "kelaparan" entah mengapa dan bagaimana bisa tiba-tiba hilang dari peredaran. Istilah yang digunakan seragam: kekurangan bahan pangan. Ya, tidak salah. Orang-orang yang kelaparan memang kekurangan makanan.

Rendra membaca puisi (Foto: Kompas/Eddy Hasbi)
Rendra membaca puisi (Foto: Kompas/Eddy Hasbi)
Kiprah Pak Badudu sekarang tinggal legenda. Beliau berani mengkritik semua pihak, termasuk Bos Besar Orde Baru, tanpa ciut nyali. Padahal, beliau hidup di tengah era ketika tangan-tangan militer begitu digdaya dan mencengkam semua sendi kehidupan.

Pada masa itu, ketertiban umum menjadi perisai pemerintah untuk menertibkan siapa saja yang melawan, membantah, atau menyanggah keinginan pemerintah. Kepemimpinan Bos Besar Orde Baru benar-benar kaku. Militer menjadi tangan kanan beliau.

Pada masa itu, kritik disamaratakan dengan penghinaan; demonstrasi disebut sebagai upaya merongrong wibawa pemerintah, jadi sama dengan memicu instabilitas; menulis pemikiran malah disetarakan dengan mengangkat senjata.

Orde Baru memang identik dengan militer. Saking identiknya sampai-sampai membudaya. Budaya militerisme, dalam kacamata Ariel Heryanto (200:250) ditandai oleh rasa takut yang memasyarakat dan menonjolnya simbol kekerasan, kekuasaan, atau kejantanan. 

Hasilnya, pengebirian hak bersuara, berpendapat, dan berserikat. Siapa pun yang mengkritik pemerintah, dalam hal ini rezim Orde Baru, akan berhadapan dengan peluru. Jika tidak dilarang tampil, akan dipenjarakan. Rendra sering mengalamai pelarangan tampil membaca puisi. Widji Thukul "dihilangkan".  

Itulah sebabnya mengapa keberanian Badudu mengkritik cara berbahasa penguasa, termasuk Bos Besar dari Kerajaan Cendana, melegenda hingga sekarang. Pendekar bahasa yang jejaknya patut diteladan, ditiru, atau dicontoh. 

Bagaimana dengan kondisi hari ini? Kesalahan berbahasa tetap saja marak. Pendekar bahasa seperti Pak Badudu bisa dihitung jari, sekalipun sarjana bahasa diwisuda setiap tahun. Kalaupun ada yang bertahan, mereka rata-rata dianggap "kurang kerjaan".

Hasilnya buruk. Kompleks dan bangunan bernama asing muncul di mana-mana. Pejaten Village, misalnya, dianggap sebagian orang lebih keren dibanding Dukuh Pejaten. Eifel yang jauh di seberang lautan kita sebut "menara", menara telekomunikasi di depan mata kita namai "tower". Begitu keluh Holy Adib, pendekar bahasa yang tengah naik daun.

Jika pada masa Orde Bara ada "Bapak Daripada", hari ini banyak orang yang layak disemati gelar "Bapak Keminggris". [kp]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun