Marsinah dan buruh lain di tempatnya bekerja mulai resah. Tersiar kabar, upah buruh mestinya sudah dinaikkan. Gubernur Jawa Timur mengeluarkan surat edaran. Isinya, imbauan kepada pengusaha untuk menaikkan upah pokok buruh. Semula Rp1.700,00 menjadi Rp2.250 per hari.
Marsinah dan kolega mulai menggugat kebijakan PT Catur Putera Perkasa (CPS). Mereka ingin pengusaha menghargai hak buruh. Harus ada perhitungan upah lembur, harus ada cuti hamil dan cuti haid, serta membubarkan SPSI yang mereka anggap tidak mewakili kepentingan buruh.
Tuntutan Marsinah dan kolega tidak serta-merta terwujud. Butuh waktu lama. Pada 3 Mei 1993, Marsinah dan kolega di PT CPS mogok kerja. Ia sambangi Kantor Depnaker Sidoarjo untuk mencari data tentang daftar upah pokok minimum regional. Data itulah yang ia gunakan sebagai alasan buruh mogok bekerja.
Matahari 4 Mei 1993 belum lagi setinggi depa. Seluruh buruh PT PCS serempak berunjuk rasa. Seluruh buruh dari tiga sif berbeda kompak masuk pagi. Mereka bersama-sama mengajukan 12 tuntutan. Mereka memaksa petugas keamanan agar diizinkan masuk ke kawasan pabrik.
Marsinah berdiri paling depan. Ia saksikan bagaimana pentungan satpam dikibaskan, bagaimana poster disobek-sobek, dan bagaimana tuduhan "antek PKI" diteriakkan para petugas keamanan. Ia hanya perempuan biasa dengan tangan terkepal dan teriakan "naikkan gaji kami".
Matahari 5 Mei 1993 berangkat menuju peraduan. Senja berdarah. Buruh-buruh ditangkapi. Tidak ada yang boleh mengganggu stabilitas ekonomi. Siapa pun yang melakukannya akan dikenai cap antek PKI. Marsinah hilang. Tidak ada rekan yang tahu ke mana dan bagaimana ia pergi.
Matahari 9 Mei 1993 berduka. Marsinah ditemukan. Ia sudah kehilangan nyawa. Di sebuah gubuk di tepi hutan Wilangan, Nganjuk, jasad Marsinah bersimbah darah. Tubuhnya tergeletak dalam posisi melintang. Tulang panggulnya hancur. Bercak-bercak darah di sela pangkal paha. Pergelangan tangan lecet-lecet. Sekujur tubuhnya memar seperti terkena pukulan.
Dampak dan kejanggalan kematian Marsinah
Sebelum menghilang, Marsinah adalah motor pemogokan buruh. Ia juga yang menata dan menaja materi negosiasi. Tatkala pihak perusahaan memberhentikan 13 buruh yang dituding sebagai dalang unjuk rasa, Marsinah menggugat perusahaan. Dalam suratnya, ia sebut perusahaan mangkir dari negosiasi.
Setelah jasadnya ditemukan pada 9 Mei 1993, kasus Marsinah meletup. Semula hanya tersiar di Jawa Timur, lalu menjadi isu nasional. Malahan, menggemparkan kalangan aktivis buruh internasional. Pelanggaran HAM berat. Begitu tudingan banyak pihak terhadap kasus Marsinah.
Federasi Buruh Amerika Serikat bahkan menuntut pemerintahnya untuk mengeluarkan Indonesia dari daftar penerima fasilitas bebas bea masuk untuk komoditas tertentu. Fasilitas itu disebut Generalized System Preferences (GSP). Tim GSP sampai berkunjung ke Surabaya (24/9/1993) buat menyatakan keprihatinan atas mangkatnya Marsinah.
Pemerintah Orde Baru kalang kabut. Tekanan internasional memaksa pemerintah membentuk Tim Terpadu. Tim tersebut dipimpin langsung oleh Kaditserse Polda Jatim, Kolonel Pol. Drs. Engkesman R. Hillep. Tugasnya, mencari fakta kematian Marsinah. Sebanyak 142 orang dimintai keterangan.Â
Penangkapan terhadap oknum yang diduga merancang pembunuhan Marsinah dilakukan pada 1 Oktober 1993. Ajaibnya, petugas tidak dilengkapi identitas. Sembilan orang digelandang ke bui tanpa surat perintah penangkapan. Pemilik PT PCS, Yudi Susanto, termasuk di antaranya.