Bagi pemerintah Orde Baru, kaum buruh mesti mengambil peranan penting dalam pembangunan. Kebijakan pun disusun secara sistematis. Setiap kasus buruh yang mencuat ke permukaan pun tidak pernah diusut dengan tepat hingga tuntas. Kasus Marsinah di antaranya.
Setidaknya ada tiga hal yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru untuk menekan kaum buruh. Upah rendah, jam kerja tidak beraturan, dan keterbatasan berkumpul dan berserikat. Kaum buruh boleh berserikat, tetapi hanya satu yang diakui oleh pemerintah. Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Selebihnya, tidak diakui.
Manakala kaum buruh berunjuk rasa demi memperjuangkan kenaikan upah, mereka akan berhadapan dengan pentungan. Bahkan, kematian. Kaum buruh ditakut-takuti dengan ancaman penangkapan, pemenjaraan, dan pembunuhan.
Itulah yang dihadapi oleh Marsinah. Ia berjuang demi upah sesama buruh, tetapi nasibnya amat nahas. Hidupnya berakhir pada kematian. Bahkan setelah mangkat pun, Marsinah tidak pernah mendapatkan keadilan. Terlalu banyak rahasia, terlalu banyak misteri.
Mengenal Marsinah
Marsinah lahir pada 10 April 1969. Kala usia tiga tahun, ibunya wafat. Ia pindah ke rumah bibinya, Sini, di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Di sana ia diasuh oleh neneknya, Pu'irah. Anak kedua dari tiga bersaudara itu sejak kecil terkenal giat bekerja.
Sepulang sekolah, ia ke sawah untuk mengantar makanan bagi pamannya. Setiba di rumah, jika tidak belajar, ia pasti ada di dapur untuk membantu bibinya memasak. Begitu terus setiap hari. Setamat SMP, ia mondok di dekat sekolahnya. SMA Muhammadiyah Nganjuk, di sanalah ia menamatkan sekolah menengah.
Marsinah remaja ingin sekali menjadi guru. Cita-citanya ingin kuliah di IKIP. Sayang sekali, bibi dan pamannya tidak mampu membiayainya. Ia pantang menyerah. Merantau ke kota, bekerja, mengumpulkan uang untuk kuliah. Begitulah harapannya.
Ia ingin sekali kuliah di IKIP. Biar jadi guru. Akan tetapi, dari mana uang untuk biaya kuliah? Pada masa itu, biaya kuliah di perguruan tinggi sangat mahal. Marsinah terpaksa merantau agar bisa bekerja.
Sebelum merantau, Marsinah mengirim banyak surat lamaran ke berbagai perusahaan di Sidoarjo, Mojokerto, dan Surabaya. Nasib baik berpihak kepadanya. Ia diterima bekerja di sebuah perusahan sepatu ternama di Surabaya.
Putri pasangan Mastin dan Sumini itu menjadi perempuan pertama di keluarganya yang bekerja sebagai buruh pabrik. Karena beberapa alasan, ia pindah ke pabrik arloji di kawasan industri Rungkut. Prestasinya tokcer. Itu sebabnya ia kemudian dimutasi ke Porong, Sidoarjo. Di sana ia menjadi perintis cabang perusahaan yang baru dibuka.
Seraya bekerja, Marsinah terus belajar. Semangatnya untuk kuliah tidak pernah padam. Saat luang ia gunakan untuk kursus komputer dan bahasa Inggris. Ia mahir menggunakan Lotus dan Word Processor. Ia juga rajin membaca, bahkan mengkliping berita.