No hi ha res impossible. Begitu kata Ronald Koeman. Ya, betul. Tidak ada yang tidak mungkin. Semua bisa terjadi. Kalah 1-4 pada pertemuan pertama bukan akhir segalanya. Koeman memang wajib menularkan semangat. Ia memang mesti berkata begitu. Sejarah juga pernah mencatat tentang Barcelona yang moncer dalam urusan remontada.
8 Maret 2017. Hari bersejarah bagi kaum Cules. Hari itu penggemar Barcelona di antero bumi menari-nari. Barcelona melakukan sesuatu yang mustahil. Remontada. Kalah telak 0-4 dari PSG pada partai pertama. Satu kaki Barcelona sudah tertanam di liang lahat.
Dramatis. Laga kedua berlangsung dramatis. Barcelona berhasil membalikkan keadaan. Utang 0-4 dibayar tunai dengan skor 6-1. Remontada gemilang. Kekalahan memalukan di Parc des Princes dilunasi dengan kemenangan gemilang di Camp Nou.
Dinihari nanti, Kamis (11/3/2021), Barcelona kembali berhadap-hadapan dengan ancaman keok di hadapan PSG. Suporter Barcelona berusaha menjaga asa dengan mendendangkan remontada di Liga Champions musim 2016/2017. Hanya saja, tahun ini rasa-rasanya mustahil.
Itu alasan pertama mengapa remontada sulit diulang oleh Barcelona. Alasan kedua, Koeman masih meraba-raba strategi yang pas bagi skuad asuhannya. Kadang memakai 4-3-3, kadang 3-5-2. Masih plintat-plintut. Sekali waktu cemerlang, sisanya redup.
Alasan ketiga, komposisi bek masih semrawut. Lenglet beberapa kali blunder, Pique keteteran menghadapi striker lawan yang berusia muda, Umtiti belum sepenuhnya tampil bak sediakala. Ada bek muda yang tokcer setiap main, Ronald Araujo. Sayang sekali, ia baru kelar dibekap cedera.
Alasan keempat, striker yang angin-anginan. Grizzman belum menemukan penampilan terbaik. Sesekali ia merepotkan barisan pertahanan lawan, lebih banyak memble tanpa torehan asis dan gol. Dembele sama. Keseringan menggocek hanya untuk kehilangan bola. Ada striker muda yang menawan, Trincao. Sayang sekali, ia masih penghangat bangku cadangan.
Alasan kelima, Barcelona masih sangat bergantung kepada Messi. Jika Messi tampil fit dan bugar, hal-hal mustahil memang bisa terjadi. Namun, apes bagi Barcelona manakala Messi dikunci dan dibikin mati kutu. Setiap membawa bola langsung dikerumuni lawan, itu nasib Messi. Imbasnya, Barca tumbang.
Selain itu, hantu remontada bukan milik PSG saja. Barcelona juga pernah mengalaminya. Kala itu, musim 2017/2018, menang kandang 4-1 lawan AS Roma, kemudian kalah tandang 0-3. Gagal total. Musim berikutnya, 2018/2019, menang kandang 3-0 lawan Liverpool, lalu kalah tandang 0-4.
Patut diingat, Barcelona dua kali dilahap hantu remontada. Semuanya terjadi di kandang lawan. Sekalipun PSG tanpa Neymar, bukan berarti PSG melemah. Buktinya klub besutan Pochettino itu menang besar di markas Barcelona, padahal Neymar tidak ikut main.
Dengan demikian, tidak usah terlalu bising berkoar-koar tentang remontada. Suporter Barcelona perlu mempersiapkan diri. Menelan air mata duka atau memancurkan air mata bahagia. Menang syukur, kalah tabah. Itu saja.
Joan Laporta memang meniupkan angin segar, tetapi itu bukan garansi kemenangan. Koeman boleh saja mengatakan "no hi ha res impossible". Messi mungkin saja berkata "kita bisa membalikkan keadaan". Namun, kemungkinan gugur sama besar dengan kemungkinan remontada.
Pendek kata, boleh berharap asal secukupnya saja, Kalaupun gugur, anggap sebagai hiburan. Juventus sudah gugur duluan, Ronaldo butuh teman. Kalau Barcelona kalah, hitung-hitung Messi mencoba setia kawan: menemani Ronaldo. [kp]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H