Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Jokowi Teken-Cabut Perpres: Model Kebijakan Publik 4.0?

3 Maret 2021   05:15 Diperbarui: 3 Maret 2021   07:02 520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Joko Widodo (Foto: setkab.go.id)

Presiden Jokowi seperti berjalan sendirian di padang lapang. Tanpa pembantu, tanpa penopang. Hal itu terlihat saat Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 diteken dan diundangkan. Perpres yang mengatur tentang Bidang Usaha Penanaman Modal itu menuai penolakan. Beliau terpaksa menanggung beban kontra.

Timbul tiga pertanyaan.

Ke mana para pembantu yang seharusnya membantu beliau untuk memikirkan, merancang, mengolah, dan menyusun peraturan? Apakah perpres tersebut tidak melewati perenungan dan pematangan konsep? Apakah draf perpres tersebut ujuk-ujuk ada tanpa diskusi beruntun yang melibatkan publik? Jika ternyata ada pelibatan publik, kenapa sebegitu rentan menjadi polemik?

Satu hal yang patut digarisbawahi, Perpres No. 11/2021 merupakan kebijakan publik yang dihajatkan untuk menata bidang yang vital. Bidang usaha dan penanaman modal merupakan subjek yang sensitif. Dua bidang itu dikitari oleh banyak aktor, terutama aktor investasi. Apalagi investasi miras. Imbasnya akan menyentuh pelbagai sisi kehidupan masyarakat.

Padahal, kebijakan publik bukanlah sesuatu yang bisa ditaja setengah matang. Tidak bisa hari ini diteken, hari ini pula dicabut. Kebijakan publik mesti matang sebelum dimaklumatkan. Kebijakan publik bukan telur yang bisa disajikan dalam kondisi setengah matang. Bukan pula lalapan yang bisa disajikan dalam keadaan mentah.

Manakala satu produk kebijakan publik main teken main cabut, indikasi ketakmatangan tampak terang benderang. Apa dikira masyarakat akan diam-diam saja ketika ada beleid dalam kebijakan publik itu yang berpotensi merugikan atau membahayakan? Tidak sesederhana itu. Kita sekarang hidup di tengah zaman keterbukaan.

Ketakmatangan itu terlihat pada bagian lampiran perpres, khususnya pada persyaratan penanaman modal di bidang industri minuman keras mengandung alkohol dan minuman mengandung anggur. Klausa memperhatikan budaya dan kearifan setempat menuai banyak protes. Itu manusiawi. Belum lagi investasi miras, mesti ditelaah secara saksama.

Boleh jadi ada banyak orang di satu daerah yang doyan miras, tetapi janganlah kesukaan sebagian orang itu ditahbiskan sebagai budaya atau kearifan lokal. Menenggak minuman keras mesti dikaji dalam-dalam baru disebut sebagai budaya atau kearifan lokal. Telaah kritis tentang miras tidak boleh diabaikan. Salah-salah bisa menimbulkan luka kolektif.

Thomas R. Dye (1992) telah menarik garis tegas tentang kebijakan publik. Dalam kacamata Dye, kebijakan publik adalah segala sesuatu yang dikerjakan atau tidak dikerjakan oleh pemerintah. Alasan penetapan dan penerapan kebijakan publik harus kuat, setidaknya mengandung manfaat yang besar dan tidak menimbulkan kerugian bagi masyarakat luas.

Pertimbangan kebermanfaatan harus ditilik secara holistik, tidak bisa setengah-setengah. Jika satu kebijakan dipandang dapat menyulut duka dan luka di dada publik, pemerintah sebaiknya tidak gegabah. Kalaupun dipaksakan, nasibnya akan seperti Perpres No. 11/2021: hari ini diteken, hari ini pula dicabut. Macam kelakar pemain catur di warung kopi saja.

Merujuk pada pendapat Dye, kita dapat memahami bahwa kebijakan publik adalah apa pun pilihan pemerintah untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Artinya, pemerintah mesti punya tujuan yang jelas. Kenapa demikian? Oleh karena kebijakan publik adalah tindakan politis yang dapat memengaruhi hajat hidup orang banyak.

Presiden RI Joko Widodo (Foto: Dok. Anne Avantie via Kompas.com)
Presiden RI Joko Widodo (Foto: Dok. Anne Avantie via Kompas.com)

Boleh jadi pihak Istana Negara menyatakan bahwa pencabutan lampiran Perpres No. 11/2021 merupakan bukti Presiden Jokowi mendengarkan dan mengindahkan saran atau kritik publik. Jadi bahan gorengan pula untuk menyatakan bahwa Presiden Jokowi tidak oteriter karena, buktinya, mau mencabut lampiran tentang investasi miras.

Oh, bukan hanya itu. Cobalah amati dari sudut pandang berbeda. Apa yang bakal kita lihat? Banyak. Pertama, rumusan Perpres No. 11/2021 tidak matang. Lalu, apa saja yang dikerjakan oleh para perumus perpres itu? Mengapa bisa termaktub beleid yang taksa alias ambigu? Kenapa ada sempilan aturan yang menimbulkan polemik?

Kedua, indikasi perumusan tanpa pelibatan masyarakat. Apabila Perpres No. 11/2021 dirumuskan hanya dengan melibatkan investor, jelas rentan. Investor baru satu bagian dari masyarakat. Masih banyak bagian lain yang bakal terkena dampak aturan investasi miras. Jangan uang melulu yang dikedepankan, sementara kemaslahatan masyarakat luas dikebelakangkan.

Ketiga, gegabah dalam memilih kata. Tentu saja kita semua paham bahwa kata memang bersifat netral. Pengguna katalah yang menafsirkan maknanya. Itu sebabnya bahasa hukum harus ditata sedemikian rupa agar tidak memicu multitafsir dan ambiguitas. Mesti ditaja secara saksama. Jangan asal-asalan. Memastikan sesuatu sebagai kebudayaan dan kearifan harus cermat dan teliti.

Keempat, pemerintah terlihat plinplan dan mudah goyah. Akibat perumusan dan penyusunan yang takmatang, kemudian berakhir dengan pencabutan, sisi lemah pemerintah dalam menetapkan dan menerapkan kebijakan terlihat menonjol. Fondasi rapuh, tidak ajek. Akibatnya mudah goyah. Baru diteken sudah diterpa badai kritik. Selanjutnya, langsung dicabut. Uh, sambalewa banget.

Kelima, Presiden Jokowi laksana pemimpin yang "tidak jelas tujuan dan tindakannya". Akibat para pembantu yang sembrono dan serampangan dalam menyusun Perpres No. 11/2021, Pakde Jokowi terpojok. Beliau terlihat (kalau mau agak keras) beloon dan pilon. Hari ini meneken peraturan, hari ini juga mencabut lampirannya. Apakah para perumus perpres tidak kasihan kepada Pak Jokowi?

Yang lalu biarlah berlalu. Oke, saya setuju. Bukan berarti saya menyetujui kesembronoan dan kesambalewaan perumusan perpres, bukan. Saya setuju bahwa yang sudah berlalu kita biarkan berlalu. Hanya saja, ambil pelajaran atau petik hikmah saja. Tanggung risi dan malu. Lalu, kompak menyerukan niat di dasar kalbu agar tidak mengulang kesalahan serupa.

Masalahnya tidak sereceh itu. Para perumus menerima upah. Mereka digaji untuk menyusun dan merumuskan manuskrip kebijakan publik. Mereka diupah dari uang negara. Uang negara berasal dari cucuran keringat. Tentu saja para perumus enggan disebut melahap gabut atau gaji buta. Maksud hati membatasi investasi miras, apa daya malah jadi pemicu polemik. Aih!

Pada akhirnya, para penyusun konsep kebijakan publik di Istana Negara mesti menyatukan suara: ayo berhenti membuat Presiden Jokowi terlihat plintat-plintut. Tambahkan satu lagi: ini bukan pola baru perumusan kebijakan publik 4.0. [kp]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun