Boleh jadi pihak Istana Negara menyatakan bahwa pencabutan lampiran Perpres No. 11/2021 merupakan bukti Presiden Jokowi mendengarkan dan mengindahkan saran atau kritik publik. Jadi bahan gorengan pula untuk menyatakan bahwa Presiden Jokowi tidak oteriter karena, buktinya, mau mencabut lampiran tentang investasi miras.
Oh, bukan hanya itu. Cobalah amati dari sudut pandang berbeda. Apa yang bakal kita lihat? Banyak. Pertama, rumusan Perpres No. 11/2021 tidak matang. Lalu, apa saja yang dikerjakan oleh para perumus perpres itu? Mengapa bisa termaktub beleid yang taksa alias ambigu? Kenapa ada sempilan aturan yang menimbulkan polemik?
Kedua, indikasi perumusan tanpa pelibatan masyarakat. Apabila Perpres No. 11/2021 dirumuskan hanya dengan melibatkan investor, jelas rentan. Investor baru satu bagian dari masyarakat. Masih banyak bagian lain yang bakal terkena dampak aturan investasi miras. Jangan uang melulu yang dikedepankan, sementara kemaslahatan masyarakat luas dikebelakangkan.
Ketiga, gegabah dalam memilih kata. Tentu saja kita semua paham bahwa kata memang bersifat netral. Pengguna katalah yang menafsirkan maknanya. Itu sebabnya bahasa hukum harus ditata sedemikian rupa agar tidak memicu multitafsir dan ambiguitas. Mesti ditaja secara saksama. Jangan asal-asalan. Memastikan sesuatu sebagai kebudayaan dan kearifan harus cermat dan teliti.
Keempat, pemerintah terlihat plinplan dan mudah goyah. Akibat perumusan dan penyusunan yang takmatang, kemudian berakhir dengan pencabutan, sisi lemah pemerintah dalam menetapkan dan menerapkan kebijakan terlihat menonjol. Fondasi rapuh, tidak ajek. Akibatnya mudah goyah. Baru diteken sudah diterpa badai kritik. Selanjutnya, langsung dicabut. Uh, sambalewa banget.
Kelima, Presiden Jokowi laksana pemimpin yang "tidak jelas tujuan dan tindakannya". Akibat para pembantu yang sembrono dan serampangan dalam menyusun Perpres No. 11/2021, Pakde Jokowi terpojok. Beliau terlihat (kalau mau agak keras) beloon dan pilon. Hari ini meneken peraturan, hari ini juga mencabut lampirannya. Apakah para perumus perpres tidak kasihan kepada Pak Jokowi?
Yang lalu biarlah berlalu. Oke, saya setuju. Bukan berarti saya menyetujui kesembronoan dan kesambalewaan perumusan perpres, bukan. Saya setuju bahwa yang sudah berlalu kita biarkan berlalu. Hanya saja, ambil pelajaran atau petik hikmah saja. Tanggung risi dan malu. Lalu, kompak menyerukan niat di dasar kalbu agar tidak mengulang kesalahan serupa.
Masalahnya tidak sereceh itu. Para perumus menerima upah. Mereka digaji untuk menyusun dan merumuskan manuskrip kebijakan publik. Mereka diupah dari uang negara. Uang negara berasal dari cucuran keringat. Tentu saja para perumus enggan disebut melahap gabut atau gaji buta. Maksud hati membatasi investasi miras, apa daya malah jadi pemicu polemik. Aih!
Pada akhirnya, para penyusun konsep kebijakan publik di Istana Negara mesti menyatukan suara: ayo berhenti membuat Presiden Jokowi terlihat plintat-plintut. Tambahkan satu lagi: ini bukan pola baru perumusan kebijakan publik 4.0. [kp]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H