Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Kamuflase Kasus Abu Janda dan Defamasi Agama

24 Februari 2021   14:19 Diperbarui: 24 Februari 2021   14:44 514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Permadi Arya alias Abu Janda (Foto: Kompas.com/Nursita Sari)

PENODAAN AGAMA, dapat pula dinamai blasfemi (blasphemy) atau defamasi agama (defamation of religion). Diskursus penodaan agama bukan hanya ramai diperdebatkan di Indonesia, melainkan di antero dunia. Begitu pula dengan delik penodaan agama, di mana-mana selalu memantik keriuhan.

Apakah agama sebegitu rentan sehingga bisa dinodai atau disakiti? Tunggu dulu. Agama bukan orang yang kita bisa reka perasaannya. Bukan begitu. Mari kita urai secara sederhana. Kata penodaan tidak atau belum ada dalam KBBI, tetapi bukan berarti tidak pernah terjadi.

Penodaan berakar dari kata "noda". Salah satu makna nodaa dalah "aib, cela, atau cemar". Sebelum terjadi penodaan, niscaya ada orang atau sekelompok orang yang menodai. Salah saru erti kata menodai adalah membuat jadi ternoda atau mencemarkan. Pelakunya disebut penoda atau yang membuat sesuatu menjadi ternoda. [1]

Dari situ bisa muncul kata penodaan yang berarti proses, cara, atau perbuatan menodai. Proses pembentukan katanya adalah noda-menodai-penoda-penodaan. Bagaimana dengan penodaan agama? Setidaknya ada tiga makna yang bisa kita dapati, yakni (1) proses menodai agama; (2) cara menodai agama; dan (3) perbuatan menodai agama.

Apabila ada seseorang atau sekelompok orang terduga menodai agama, maka hal pertama yang perlu kita sidik adalah bagaimana prosesnya. Selanjutnya, bagaimana caranya. Terakhir, apa jenis perbuatannya. Boleh jadi pada mulanya tidak ada niat menodai agama, tetapi jika dalam proses terjadi unsur penodaan agama berarti boleh disebut melakukan penodaan agama.

Bagaimana cara seseorang atau sekelompok orang menodai agama? Ada dua, yakni secara lisan dan tulisan. Namun, khusus untuk memenuhi delik penodaan agama atau blasfemi atau defamasi agama, perbuatan itu harus dilakukan di hadapan umum.

Apakah Abu Janda yang menyebut Islam sebagai agama yang arogan dapat digolongkan sebagai satu perbuatan menodai agama? Mari kita sigi dulu apa makna penodaan agama atau blasfemi secara universal.

Pengertian blasfemi

BLASFEMI bukanlah bahasan yang baru mengemuka, melainkan kupasan yang sudah lama dan sering diperbincangkan. Kata blasfemi berakar dari kata blasphemia dalam bahasa Yunani yang berarti berbicara jahat atau malicious statement. [2]

Dari mana bermula konsep awal hukum blasfemi? Ada beberapa sumber yang dapat kita gunakan sebagai rujukan. Menurut yurisprudensi Amerika Serikat, dinukil oleh Henry Campbell Black dalam Black's Law Dictionary (1968:216), blasfemi didefinisikan: [3]

Celaan secara verbal tertulis tentang apa pun dengan kedengkian terhadap Tuhan, nama-Nya, segala sifat-Nya, dan agama [Any oral or written reproach maliciously cast upon God, His name, attributes, or religion].

Adapun blasfemi dalam Kamus Merriam-Webster diartikan sebagai berikut. [4]

(1) tindakan yang menghina atau menunjukkan penghinaan atau kurangnya penghormatan kepada Tuhan (the act of insulting or showing contempt or lack of reverence for God); (2) tindakan yang mengaku atau mengasosiasikan sebagai Dewa (the act of claiming the attributes of deity); dan (3) ketidakhormatan atas sesuatu yang dianggap sakral atau tidak dapat diganggu gugat (irreverence toward something considered sacred or inviolable).

Defamasi agama di beberapa negara

MERUJUK pada uraian di atas, blasfemi atau defamasi agama adalah tindakan-tindakan yang secara langsung menghina Tuhan atau sesuatu yang dianggap ilahi. Cakupan tindakan bukan sebatas menghina Tuhan, melainkan sekaligus melukai perasaan penganut agama.

Bagaimana posisi atau eksistensi blasfemi di ranah hukum?

Mau tidak mau, penodaan agama dapat melukai perasaan penganut agama. Dengan demikian dapat pula mengancam kedamaian negara. Atas dasar itulah beberapa negara mengimbuhkan penodaan agama ke ranah hukum. Meski begitu, cakupan blasfemi ditaja secara berada di beberapa negara. Tidak seragam, tidak serupa.

Pertama, negara yang menetapkan blasfemi hanya pada perbuatan menyerang, menghina, atau tidak menghormati Tuhan dan hal lain yang dianggap suci dan sakral oleh suatu agama, misalnya di Brazil, El Savador, Finlandia, Irlandia, Italia, Jerman, Leichestentein, Montenegro, Nigeria, Thailand, Turki, atau Yunani.

Kedua, negara yang menetapkan blasfemi sekaligus pada perbuatan yang menyerang, menghina, atau tidak menghormati perasaan keagaaman umat beragama,misalnya Austria, Ethiopia, Filipina, Gambia, India, Kazakhstan, Pakistan, Polandia, Rusia, atau Siprus.

Ketiga, negara yang memberlakukan blasfemi dalam bentuk khusus, misalnya pelarangan ateis (Bangladesh dan Kuwait), menyerang pimpinan agama (Rwanda), dan pelarangan muslim memakan babi (Uni Emirat Arab).

Delik penodaan agama di beberapa negara tersebut disesuaikan dengan hukum internasional, yakni Resolusi PBB/82 tentang Demafation of Religion yang mengatur tentang jenis perbuatan yang dimaksud dengan defamasi agama.

Resolusi itu tidak secara khusus mengatur definisi blasfemi, tetapi mendorong semua negara untuk:

Mengambil semua tindakan yang sepatutnya untuk melawan kebencian, diskriminasi, ketidaktoleranan dan tindakan kekerasan, intimidasi dan pemaksaan yang dimotivasi oleh ketidaktoleranan keagamaan, termasuk serangan terhadap tempat-tempat keagamaan, dan mendorong pemahaman, toleransi, serta penghormatan dalam hal-hal yang berkaitan dengan kebebasan agama atau kepercayaan.

Hingga saat ini sudah 71 negara yang menerapkan defamasi agama dalam kerangka hukumnya. Sebanyak 15 negara di antaranya khusus melindungi agama tertentu. Ada pula negara yang melindungi seluruh agama, tetapi praktiknya hanya melindungi agama tertentu. [5]

Contoh negara yang melindungi agama Kristen dari defamasi adalah Austria, Finlandia, dan Jerman; agama Islam di Afganistan, Aljazair, Arab Saudi, Iran, Maroko, Somalia, Tanzania, Uni Emirat Arab, Yaman, dan Yordania. Adapun Thailand memberlakukan blasfemi untuk melindungi agama Buddha.

Blasfemi yang melindungi semua agama, tetapi pada praktiknya hanya melindungi agama Kristen berlaku di Polandia. Malaysia memberlakukan perlindungan atas semua agama, tetapi praktiknya cenderung hanya melindungi agama Islam. Adapun Qatar memberlakukan hukum blasfemi untuk semua agama monoteistik.

Patut dicamkan, ada juga negara yang tidak memberlakukan delik defamasi agama. Malta menghapus aturan blasfemi sebab dianggap bertentangan dengan konsep negara demokrasi. Sementara itu, Prancis yang mengatur pemisahan antara kekuasaan negara dan kekuasaan agama sebagai alasan penghapusan blasfemi.

Blasfemi juga dihapus di Islandia karena dianggap melanggar kebebasan berekspresi (freedom of expression), sedangkan argumen melanggar kebebasan berpendapat (freedom of speech) menjadi dasar penghapusan defamasi agama di Denmark.

Defamasi agama di Indonesia

DI KANADA, seseorang tidak dapat dapat dipidana melakukan defamasi agama jika disampaikan dengan iktikad baik (good faith) dan diuraikan dengan memakai bahasa yang layak (decent language).

Sementara itu, Yunani dan Swiss memberlakukan hukum blasfemi atas dasar niat jahat yang membahayakan (maliciously). Berbeda dengan delik defamasi agama di Finlandia, Rusia, dan Spanyol yang berlandaskan pada tujuan untuk menyinggung (purpose of oeffending).

Bagaimana dengan delik defamasi agama di Indonesia?

Istilah penodaan agama muncul pada Pasal 156 huruf (a) KUHP dan Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Pasal 1 UU Nomor 1 PNPS Tahun 1965 berbunyi: [6]

Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan, atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.

Kala itu Indonesia marak dengan kasus penodaan agama, seperti Quran disobek-sobek dan dinjak-injak, Nabi Muhammad disebut "nabi bohong", pastor dihina karena tidak kawin, ketoprak berjudul "Paus Gandrung". [7]

Pasal 4 UU Nomor 1 PNPS Tahun 1965 mengamanatkan peneraan pidana penodaan agama dalam Pasal 156a KUHP:

Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: [a] yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; dan [b] dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dalam perkembangannya, pengaturan tentang penodaan agama tertera dalam Pasal 28 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pasal tersebut mengatur tentang penyebaran informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). [8]

Sayangnya, aturan itu tidak memuat dengan jelas kriteria penodaan agama sehingga kerap ditafsirkan dan disalahgunakan. Itu sebabnya RUU KUHP perlu dilengkapi dengan kriteria yang jelas soal penodaan agama, termasuk jenis pidananya.

Pidana atas delik defamasi agama

PIDANA MATI atas delik defamasi agama yang berhubungan dengan menghina nabi berlaku di Iran dan Pakistan, sedangkan pidana mati karena murtad berlaku di Afganistan, Arab Saudi, Brunei Darussalam, Iran, Malaysia, Qatar, Sudan, Uni Emirat Arab, dan Yaman.

Adapun pidana penjara untuk delik blasfemi berlaku di Bangladesh, El Savador, Indonesia, Israel, Jerman, Kanada, Kazakhstan, Montenegro, Nigeria, Siprus, Tanzania, Turki, Vanuatu, dan Yordania. Sementara itu, pidana denda berlaku di Austria, Irlandia, dan Rwanda.

Delik defamasi agama dengan pemberlakukan pidana penjara dan denda secara kumulatif terjadi di Aljazair, India, Kuwait, Maroko, Oman, Rusia, Somalia, Suriname, dan Yaman. Ada juga negara yang memberlakukan pidana penjara dan denda secara alternatif, yakni Irak, Finlandia, Malaysia, Qatar, dan Thailand.

Satu-satunya negara yang menerapkan hukum cambuk adalah Sudan.

Abu Janda dan defamasi agama

KASUS TERBARU yang dapat kita lihat sebagai contoh penodaan agama di Indonesia adalah cuitan Abu Janda. Pada 25 Januari 2021 lalu, Abu Janda berkicau di Twitter menyebut Islam sebagai agama yang arogan.

Cicitan Abu Janda mendapat respons masif dari warganet. Sekalipun menyangkal dengan dalih cuitannya adalah respons atas kicauan orang lain, tetapi Abu Janda dengan gamblang menyebut Islam sebagai agama pendatang dari Arab yang memang arogan. Tidak ada kata pewatas. Hanya ada Islam.

Terlepas dari tekanan masyarakat, termasuk ormas Islam, patut kita camkan bahwa unsur-unsur perbuatan pidana penodaan agama di Indonesia mencakup: (1) setiap orang; (2) dengan sengaja di depan umum; dan (3) mengeluarkan perasaan permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

Pertanyaannya, apakah cuitan Abu Janda yang menyebut Islam sebagai agama arogan termasuk defamasi agama? Polri selaku pihak penyidik yang paling awal berwenang untuk menentukan deliknya. Masalahnya, Polri masih terus mencari bukti. Jangan-jangan Abu Janda sedemikian sakti sehingga Polri kebingungan mencari bukti.

Bukan hanya itu. Publik juga mengetahui bahwa Abu Janda sudah meminta maaf kepada organisasi tertentu atas pernyataannya. Apakah permintaan maaf itu tulus atau sekadar buih kata atau kamuflase agar tidak dikenai delik penodaan agama?

Tentu hanya Tuhan dan Abu Janda yang tahu. [kp]

Rujukan:

  1. KBBI. Menodai. Diakses 23 Februari 2021.
  2. Riaz Hassan. Expressions of Religiosity and Blasphemy in Modern Societies. Diakses 23 Februari 2021.
  3. Henry Campbell Black. Black's Law Dictionary, Edisi 4 (Revisi).Diakses 23 Februari 2021.
  4. Merriam-Webster Dictionary. Blasphemy. Diakses 23 Februari 2021.
  5. Joelle Fiss dan Jocelyn Getgen Kestenbaum. Respecting Rights? Measuring the World's Blasphemy Laws. United States Commission on International Religious Freedom. 2017, hlm. 3 dan 17.
  6. Kementerian Agama RI. UU Nomor 1 PNPS Tahun 1965. Diakses pada 24 Februari 2021.
  7. Soedarto. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat: Kajian terhadap Pembaharuan Hukum Pidana. Bandung: Sinar Baru. 1983, hlm. 78---79.
  8. Neva Claudia Meliala. Ketidakjelasan Kriteria Penodaan Agama dalam Pasal 156 huruf (a) KUHP Quo Vadis Lex Certa. Diakses 24 Februari 2021.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun