Kesa meledek hidung Kitan yang kurang mancung. Kesa mengira ia bercanda karena merasa amat akrab dengan Kitan, tetapi lupa bahwa ia tidak pernah tahu perasaan terdalam Kitan. Kesa tertawa, Kitan terluka. Kesa lupa ia telah menghina fisik (body shaming) orang lain.
Dari kasus Kesa-Kitan itu kita bisa memetik hikmah bahwa sekat antara bercanda dan menghina sangatlah tipis. Kita, seperti Kesa, tidak pernah tahu bagaimana suasana hati orang yang diledek fisiknya. Mungkin Kesa mengira itu candaan, tetapi Kitan bisa menerimanya sebagai penghinaan.
Perhatikan kondisi hati orang sebelum bercanda
Deri dan kawan-kawan sedang bersiap ingin bermain basket. Tamu berlari ke dalam lapangan, ia juga ingin mencari keringat. Tak dinyana, Deri dan kawan-kawannya mengabaikan kehadiran Tamu. Mereka merasa tidak selevel dengan Tamu. Bisa jadi karena Tamu tidak terampil bermain basket, boleh jadi karena Tamu tidak sekeren Deri dan teman-temannya.
Dari kasus Deri-Tamu di atas kita bisa mengambil pelajaran berharga. Hanya karena orang lain tidak sehebat kita dalam mengerjakan sesuatu, bukan berarti kita berhak mengucilkan ataupun mengabaikan orang tersebut. Mungkin kita sangka itu kelakar, tetapi pada sisi lain dapat disebut perisakan (bullying). Jangan ingat, pengucilan termasuk dalam kategori penghinaan psikologis.
Kita, seperti Deri dan kawan-kawannya, tidak pernah tahu apa yang terjadi sebelum Tamu berlari masuk ke lapangan basket. Mungkin di rumah ia mengalami kejadian traumatis dan berharap bisa melupakan peristiwa itu dengan bermain basket. Ndilalah, kita malah merisaknya lewat tindakan mengabaikan dan mengucilkan. Jadilah luka hati Tamu bertambah-tambah.
Di situlah perlunya keterampilan membaca perasaan orang. Jika kita tilik teman sedang sensitif, janganlah kita mulai gelontoran gurau. Alih-alih menyembuhkan nestapa, salah-salah menyulut luka batin yang baru.
Perhatikan suasana sekitar sebelum bercanda
Pela senang mencari perhatian dengan mengolok-olok temannya. Kadang ia abai pada situasi. Yang penting ia berhasil menjadi pusat perhatian. Pada satu ketika ia mengolok-olok kebiasaan Rian yang sering memproduksi iler alias meneteskan air liur setiap tidur. Bagi Pela, itu candaan biasa. Bagi Rian, itu berarti mengungkap aib di depan banyak orang.
Akibat orang-orang tertawa mendengar olok-olokan Pela dan melihat merah padam muka Rian, Pela makin menjadi-jadi. Menghamburlah segala rupa ejekan baru. Rian tidak tahan, kehilangan kendali emosi, dan akhirnya main gampar. Siapa sangka hubungan Pela dan Rian yang semula seperti persahabatan angin dan daun akhirnya retak dan beakhir semenyedihkan itu.
Dari kasus Pela-Rian itu kita mesti dapat memetik pelajaran. Bercanda tidak boleh sembarangan. Bercanda harus melihat situasi. Pela selama ini merasa amat akrab dengan Rian, jadilah ia menganggap kebiasaan Rian bikin peta di bantal saat tidur sebagai materi kelakar. Jikalau berdua saja mungkin Rian tertawa, karena banyak orang jadilah Rian terluka.