Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan featured

Bercanda Jangan Keterlaluan, Ada Kelakar yang Berujung Kematian

23 Februari 2021   05:05 Diperbarui: 3 September 2021   08:22 1778
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tingakan bullying di tempat kerja. Sumber: RTImages via Kompas.com

LAHAT, Sumatera Selatan. Adalah Darsan (45 tahun) yang iseng-iseng memeloroti celana Junaidi (44 tahun). Mungkin Darsan sekadar bercanda, tetapi memeloroti celana orang lain bukan kelakar yang asyik. Apalagi di depan banyak orang, di tengah-tengah riuh hajatan. Minggu, 21 Februari 2021, akhirnya menjadi hari terakhir bagi Darsan.

Siapa sangka, maut akan merenggut nyawa Darsan. Siapa yang bisa menduga, Junaidi tidak bisa menahan emosi. Terlepas Junaidi datang ke pesta pernikahan dengan bercelana pendek, dikutip Kompas.com, ulah Darsan dapat membuat orang lain merasa kehilangan muka. Jika orang yang kehilangan itu gagal menahan diri, dampaknya bisa sangat fatal. 

Tak dinyana dampaknya sangat fatal: Junaidi kehilangan muka, Darsan kehilangan nyawa.

Boleh jadi kita merasa janggal tatkala Junaidi menghadiri pesta sambil membawa senjata tajam, tetapi lelaki bersenjata tajam ke mana-mana bukan sesuatu yang aneh di beberapa daerah. 

Yang aneh justru berkelakar keterlaluan dengan memeloroti celana orang lain. Sungguhpun begitu, kalap dan gelap mata sampai menghabisi nyawa orang lain merupakan tindakan berlebihan.

Kita hanya bisa mengelus dada. 

Perisakan dapat membuat hati teman terluka (Gambar: ksla.com)
Perisakan dapat membuat hati teman terluka (Gambar: ksla.com)
Mari kita hentikan kelakar yang keterlaluan. Bercanda boleh, tidak ada larangan, asal sesuai tempat dan tidak menyakiti perasaan orang lain. Kita berhak tertawa, sebagaimana kita juga berhak terluka. Namun, canda ada batasnya. Apalah guna senda gurau jikalau tawa renyah terjadi di atas hati orang lain yang “berdarah-darah”.

Berikut ini saya agihkan tiga batasan bercanda yang perlu kita camkan.

Merisak bukan hobi yang layak kita dalami (Gambar: Getty Images/Stockphoto)
Merisak bukan hobi yang layak kita dalami (Gambar: Getty Images/Stockphoto)

Perhatikan batas canda yang wajar

Refor, sebut saja begitu, sedang berdiri merapikan kemeja. Masi, sebut saja begitu, menarik kursi ketika melihat Refor hendak duduk. Otomatis Refor terjengkang dan terjelepak di lantai karena kursi sudah digeser oleh Masi. Maksud Masi mungkin bercanda, tetapi ia lupa tulang ekor Refor bisa cedera.

Dari contoh kasus Refor-Masi di atas kita dapat menyimpulkan bahwa tidak semua senda gurau dapat menyenangkan hati. Tarik-tarik kursi termasuk di antara yang tidak menyenangkan hati. Masalah terbesar kita, banyak orang yang menyangka hal seperti itu sebagai guyon belaka.

Kesa meledek hidung Kitan yang kurang mancung. Kesa mengira ia bercanda karena merasa amat akrab dengan Kitan, tetapi lupa bahwa ia tidak pernah tahu perasaan terdalam Kitan. Kesa tertawa, Kitan terluka. Kesa lupa ia telah menghina fisik (body shaming) orang lain.

Dari kasus Kesa-Kitan itu kita bisa memetik hikmah bahwa sekat antara bercanda dan menghina sangatlah tipis. Kita, seperti Kesa, tidak pernah tahu bagaimana suasana hati orang yang diledek fisiknya. Mungkin Kesa mengira itu candaan, tetapi Kitan bisa menerimanya sebagai penghinaan.

Kita tidak pernah tahu isi hati orang lain (Gambar: truesport.org)
Kita tidak pernah tahu isi hati orang lain (Gambar: truesport.org)

Perhatikan kondisi hati orang sebelum bercanda

Deri dan kawan-kawan sedang bersiap ingin bermain basket. Tamu berlari ke dalam lapangan, ia juga ingin mencari keringat. Tak dinyana, Deri dan kawan-kawannya mengabaikan kehadiran Tamu. Mereka merasa tidak selevel dengan Tamu. Bisa jadi karena Tamu tidak terampil bermain basket, boleh jadi karena Tamu tidak sekeren Deri dan teman-temannya.

Dari kasus Deri-Tamu di atas kita bisa mengambil pelajaran berharga. Hanya karena orang lain tidak sehebat kita dalam mengerjakan sesuatu, bukan berarti kita berhak mengucilkan ataupun mengabaikan orang tersebut. Mungkin kita sangka itu kelakar, tetapi pada sisi lain dapat disebut perisakan (bullying). Jangan ingat, pengucilan termasuk dalam kategori penghinaan psikologis.

Kita, seperti Deri dan kawan-kawannya, tidak pernah tahu apa yang terjadi sebelum Tamu berlari masuk ke lapangan basket. Mungkin di rumah ia mengalami kejadian traumatis dan berharap bisa melupakan peristiwa itu dengan bermain basket. Ndilalah, kita malah merisaknya lewat tindakan mengabaikan dan mengucilkan. Jadilah luka hati Tamu bertambah-tambah.

Di situlah perlunya keterampilan membaca perasaan orang. Jika kita tilik teman sedang sensitif, janganlah kita mulai gelontoran gurau. Alih-alih menyembuhkan nestapa, salah-salah menyulut luka batin yang baru.

Pengucilan dan pengabaian termasuk perisakan (Gambar: blogs.microsoft.com)
Pengucilan dan pengabaian termasuk perisakan (Gambar: blogs.microsoft.com)

Perhatikan suasana sekitar sebelum bercanda

Pela senang mencari perhatian dengan mengolok-olok temannya. Kadang ia abai pada situasi. Yang penting ia berhasil menjadi pusat perhatian. Pada satu ketika ia mengolok-olok kebiasaan Rian yang sering memproduksi iler alias meneteskan air liur setiap tidur. Bagi Pela, itu candaan biasa. Bagi Rian, itu berarti mengungkap aib di depan banyak orang.

Akibat orang-orang tertawa mendengar olok-olokan Pela dan melihat merah padam muka Rian, Pela makin menjadi-jadi. Menghamburlah segala rupa ejekan baru. Rian tidak tahan, kehilangan kendali emosi, dan akhirnya main gampar. Siapa sangka hubungan Pela dan Rian yang semula seperti persahabatan angin dan daun akhirnya retak dan beakhir semenyedihkan itu.

Dari kasus Pela-Rian itu kita mesti dapat memetik pelajaran. Bercanda tidak boleh sembarangan. Bercanda harus melihat situasi. Pela selama ini merasa amat akrab dengan Rian, jadilah ia menganggap kebiasaan Rian bikin peta di bantal saat tidur sebagai materi kelakar. Jikalau berdua saja mungkin Rian tertawa, karena banyak orang jadilah Rian terluka.

Kita tidak pernah tahu kapan luka akibat olok-olok akan sembuh (Gambar: nea.org)
Kita tidak pernah tahu kapan luka akibat olok-olok akan sembuh (Gambar: nea.org)

SELALU ada saat kita merasa kelakar bisa mencairkan suasana, tetapi kita juga harus tahu batasan mana canda dan mana hinaan. Selain itu, kita punya perasaan. Jadi, sebaiknya kita manfaatkan perasaan itu dengan sebaik-baiknya agar kepekaan kita tajam. Peka pada situasi kita butuhkan agar senda gurau kita tidak menyakiti teman sepercandaan.

Kasus menyedihkan di Lahat mungkin kita anggap remeh. Barangkali kita mengira Junaidi terlalu emosional sampai-sampai nyawa Darsan melayang akibat tikamannya, tetapi kita juga tidak bisa mengabaikan kondisi psikologis Junaidi. Dalam kacamata Junaidi, kejadian itu dapat saja ia kira sebagai perbuatan yang menghilangkan harga diri.

Senda gurau sangat lazim dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam area persahabatan. Tukaran kelakar kerap terjadi di pertemanan yang sudah berasa intim dan kental. Teman akrab sering disebut setara dengan saudara sekandung. Namun, kelakar keterlaluan dapat meretakkan kedekatan itu. Yang dekat akhirnya jauh gara-gara lelucon garing.

Maka dari itu, berhati-hatilah sebelum dan selama bercanda. [kp]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun