Pret! Begitu sembur Kang Somay. Ulang lagi. Pret! Tampaknya ia kesal banget. Bukan soal takada seorang jua pembeli yang mendatangi gerobak somaynya, bukan. "Pendapat memang tidak boleh dipenjara, Kak Tsamara. Setiap warga negara berhak untuk berpendapat."
Kang Bakso geleng-geleng kepala. "Kenapa, Kang? Pendapat dan pendapatan jelas tidak bisa dibui. Lo, ditangkap saja susah. Mimpi kali mau memenjara pendapat. Bagaimana cara menuntutnya?" Ia menggeleng-geleng lagi. "Lucu pula nanti kalau hakim bertanya, 'Saudara Pendapat, apakah Saudara keberatan dengan tuntutan Jaksa?' Bagaimana Pendapat menjawab pertanyaan hakim?"
"Hahaha!" Kang Kerak Telor terbahak-bahak. "Kau betul, Kang Bakso. Mustahil si Pendapat dipidana. Susah."
Kang Somay tergelak. "Berarti Kaka Tsamara salah cuit, dong!"
"Tsamara yang mana?" tanya Kang Bakso. "Langganan kau?"
Kang Somay menggeleng. "Bukan. Tokoh partai PSI."
Kang Kerak Telor tergelak lagi. "Hahaha. Kalau Kaka Tsamara itu yang kausebut, alah, abaikan saja. Itu ibarat kata semut di seberang got kelihatan, kebo di depan mata kagak nampak. Tanya aja Kaka Tsamara, siapa selama ini yang jadi biang lopar-lapor."
Kang Somay tersentak. "Memang siapa biang lopar-lapor, Kang?"
"Macam mana kau taktahu, padahal tiap menit buka medsos," ujar Kang Bakso, "orang PSI-lah!"
Tilikan mereka juga pedas. Sekalipun harga cabe kian melejit, level pedas komentar mereka masih pada kisaran tujuh hingga sepuluh. Persis seperti komentator di teve, mereka pun mahir berkomentar dari sudut mana saja. Dari pojok psikologi bisa, dari penjuru antropologi bisa. Dari sudut hukum bisa, dari sisi agama juga bisa.
Bahasa yang mereka gunakan pun bisa dibikin-bikin menjadi sok intelek. Bisa menggunakan gaya Revolusi Industri 4.0 ala Budiman Sudjatmiko, bisa memakai gaya plentang-plentung filsafat ngambang seperti Rocky Gerung. Sedikit santai macam Maman Suherman bisa, agak serius bagai Burhanuddin Muhtadi juga bisa. Tinggal pesan gaya, persis macam kaupergi ke tukang jahit.
Malam kehilangan bintang, mereka kehilangan pelanggan. Jadilah ponsel cerdas mereka ulik. Itu saja penghiburan terbaik bagi mereka selama pandemi merajalela. Tidak heran jikalau cicitan politikus muda Tsamara pun mereka embat. Gobal-gabel bibir mereka memperbincangkan UU ITE. Rupa-rupa analisis termuntahkan.
Kata Tsamara Amany di Twitter:
Pendapat tidak boleh dipidana. Takboleh ada warga negara yang takut mengungkapkan pendapat atau kritik. Kita memilih berdemokrasi. Oleh sebab itu, mari rawat demokrasi ini. Kami, PSI, mendukung UU ITE demi melindungi hak warga negara berpendapat.