Saya menyanggah dengan santun. "Gaya Bapak berbeda dengan gaya saya."
Beliau tertawa lagi. Berdiri sambil berkata, "Saya hanya membantu agar Anda bisa bernapas lega!"
***
Pengalaman lutut goyah sungguh berguna. Presentasi soal apa yang akan saya tulis, bagaimana nanti proses riset, dan hal-hal teknis lain hanya pelengkap belaka. Saya tahu itu, sebab ketika tiba di lantai 19, sebelum memasuki ruangan beliau, pundak saya ditepuk sangat hangat.
Mengapa harus saya? Itulah pertanyaan yang kerap diajukan oleh seseorang tatkala saya tawari dituliskan memoar atau biografi. Jawaban yang sering saya lontarkan ialah agar cucu dan cicit kenal leluhurnya. Betapa banyak di sekitar kita yang kenal kakeknya sekadar nama saja. Tidak tahu kiprah sang kakek, tidak kenal jejak sang kakek.
Adakah yang lebih mengenaskan dibanding tidak dikenali oleh kerabat sendiri? Bahwa tiap insan adalah guru, itu benar. Bahwa tiap orang punya pengalaman inspiratif yang bisa disebar kepada khalayak pembaca, itu benar. Namun, dilupakan oleh keluarga sendiri adalah alasan sederhana mengapa seseorang butuh memoar.
Anda boleh punya uang berlimpah, perusahaan menumpuk, deposito di mana-mana, saham tiada terkira, selama Anda hanya bergerak di situ maka suatu ketika nama Anda akan hilang dari edar masa. Lewat buku, setidaknya, nama Anda akan mengabadi selama buku itu ada.
Anda boleh punya jabatan tinggi, pangkat yang membuat orang lain terus membungkuk, telunjuk yang dapat menggerakkan dan mengarahkan orang lain, selama Anda berada di situ saja maka suatu ketika nama Anda akan ditelan masa. Bukulah yang dapat, setidaknya, mengabadikan apa yang telah Anda lakukan, kapan Anda berbuat, dan bagaimana Anda melakukannya.
Di situlah pentingnya buku biografi atau memoar.
***