SEBELUM ANDA keterusan membaca artikel acakadul ini, izinkan saya perjelas sesuatu dulu. Ini perlu saya uraikan supaya Anda tidak salah paham, lalu kecewa, lalu misuh-misuh (Daeng emang koplak, misalnya). Oke? Sip. Terima kasih atas ketidakmengertian Anda. Hehehe.
Begini, Brader. Artikel ini tidak saya niatkan untuk membahas seluk-beluk Hari Valentine, kapan mulai dirayakan, siapa yang mula-mula menginisiasi perayaannya, serta bagaimana hukum dan cara merayakannya. Tidak. Saya tidak akan mengudar hal itu.
Artikel ini tidak juga saya maksudkan untuk mengulas definisi budaya, buat apa budaya ada, apalagi mengapa orang-orang membudayakan Hari Valentine sebagai hari spesial untuk merayakan dan menunjukkan rasa kasih sayang. Tidak. Saya tidak akan membabar hal itu.
Terakhir, saya juga tidak menghajatkan artikel ini untuk membahas lika-liku kata kita, apa yang dimaksud dengan kita, serta siapa saja yang terlibat atau terkait dalam kita. Tidak. Saya tidak akan menjabarkan hal itu.
Yang pasti, tulisan ini tidak menyertakan teori sosiologi versi Engkong Felix, tidak mengikutkan materi numerologi ala Komandan Rudy, tidak melampirkan norma reflektif seperti Om Katedrarajawen, dan tidak melibatkan nilai humanitas gaya Babang Zaldy.
Setuju? Baiklah. Terima kasih atas ketidaksetujuan Anda.
***
VALENTINE adalah hari ketika orang-orang menyampaikan atau menyatakan perasaan kasih dan sayang. Harinya jelas, tiap-tiap almanak menunjuk angka 14 bulan Februari. Woy, Daeng Sengak, tadi kaubilang tidak ada teori. Sabar, Bro, itu bukan teori. Ndasmu, Daeng!
Kita lanjut, Brader. Guna menyampaikan atau menyatakan perasaan kasih dan sayang, kita mesti paham bahasa kalbu. Tunggu dulu. Sudah tahu makna kasih dan sayang, kan? Begini, Bray. Salah satu arti "kasih" ialah 'beri'. Salah satu erti "sayang" adalah 'menyesal; tidak rela'.
Kamu cinta, berikan sesuatu. Apa? Ya, tanya dirimu apa yang bisa kauberikan kepada orang yang kaukasihi. Kamu sayang, iya sekarang. Besok-besok bisa tidak sayang lagi. Jika sudah tak sayang, di situlah hatimu dirajam perasaan menyesal atau tidak rela.
Kata "menyampaikan", jika kita mau pelesetkan, bisa bermakna 'membuat sesuatu menjadi sampai'. Apa sesuatu itu? Ya, perasaan kasih dan sayang tadi. Adapun "menyatakan" berhubungan erat dengan 'membuat sesuatu menjadi nyata'. Apa yang dibuat nyata? Perasaan kasih dan sayang tadi. Oke? Mantap!
Kau memang semprul, Daeng. Tadi kaubilang tidak akan mengungkap makna Valentine, sekarang sudah empat paragraf kau mengoceh tentang kasih sayang. Nah, ini! Saya itu ngasih tahu malah diomeli. Piye, toh?!
***
HARI INI ditengarai banyak orang sebagai hari untuk menyampaikan dan menyatakan perasaan kasih dan sayang. Maaf, saya ulangi lagi. Bukan karena saya ingin mempertegas kesepahaman kita akan Valentine, bukan. Hal itu saya lakukan sebab saya tidak punya konsep gagasan yang jelas untuk tulisan ini. Hihihi!
Namun, jangan kecewa. Barangkali di dasar hati Anda berkata "anjir, sudah sejauh ini belum ada apa-apa yang bisa ogut petik". Tenang, Brader, ini artikel. Bukan buah mangga yang tidak jauh dari jangkauan tangan. Bukan bunga di tepi jalan yang mudah diraih sekehendak hati.
Kamu makin ngelindur, Daeng. Oh, begitu? Maafkan saya. Hati saya berkembang-kembang (varian 'berbung-bunga'). Kalau sedang begini, otak dan hati saya kompak melantur ke mana-mana. O, ternyata sudah 500 kata (bayangkan saya terbelalak).Â
Baiklah, saya ringkas saja bagian ini. Media sosial tengah disesaki tagar yang viral. Valentine bukan budaya kita. Sebagai kaum tuwir yang selalu merasa sok muda, saya juga ingin turut serta meramaikan hal nyeleneh dari tagar itu.
Valentine bukan budaya kita, budaya kita adalah kepo tanpa batas. Jangan masam-mesem, Brader, saya serius. Kok bisa, ya, kepo dianggap budaya? Bisa, sih. Salah satu arti budaya adalah 'sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dan sukar diubah'. Poinnya, kebiasaan yang sukar diubah.
Nah, kepo itu sukar diubah. Parahnya, kepo acapkali diikuti dengan penghakiman tanpa alasan atau tanpa pengetahuan memadai atas akar masalah. Begitu teman melakukan kesalahan, kita sibuk kasak-kusuk menggali informasi. Setelah dapat, kita dengan enteng mengatakan "ih, amit-amit, bisa-bisanya dia begitu!".
Valentine bukan budaya kita, budaya kita ialah senang mengkritik dan mudah tersinggung. Saya serius. Banyak orang di antara kita, termasuk Anda dan saya (bukan "selain Anda dan saya"), yang enteng menyampaikan kesalahan orang, tetapi baperan jika kesalahan kita diungkap oleh orang lain. Kalau Anda tidak merasa begitu, ya, tidak apa-apa, cukup saya saja yang merasa.
Soal senang mengkritik (boleh dibaca: mengejek, menghina, mengolok-olok), silakan lihat sendiri fenomena termutakhir. Soal mudah tersinggung (boleh dibaca: emosian, baperan), silakan lihat sendiri kondisi terkini. Lagi berjalan kaki setelah hujan deras, motor melindas genangan air, kita misuh-misuh. Lagi macet, motor lewat menyenggol spion, kita marah-marah. Kalau Anda tidak merasa begitu, ya, tidak apa-apa, saya juga tidak merasa.
Valentine bukan budaya kita, budaya kita ialah setiap marah atau kesal selalu enteng membawa-bawa hewan dan setan. Anak menjatuhkan ponsel mahal, anjing kita sebut-sebut. Pacar diam-diam kentut dan baunya sangat busuk, bangsat kita seret-seret. Cinta bertepuk sebelah tangan, setan kita bawa-bawa. Apa coba salah hewan dan setan?
Alah, Daeng pintar ngeles, situ juga kalau misuh-misuh di artikel sering bawa-bawa nama makanan. Oh, benar sekali. Saya memang begitu orangnya. Orang lain berhak mengiklankan makanan dari luar, merasa heboh kalau mencicip makanan Eropa, saya boleh dong meniagakan tahu gejrot, bakwan gosong, atau surabi tutung. Hehehe. Sesederhana itu. Sama saja, Rengginang Garing! Duh, ngegas melulu.
***
SAYA CUMA ingin menunjukkan bahwa banyak kebiasaan yang, entah sengaja atau tidak, patut kita tinggalkan dan tanggalkan. Kalau nirfaedah (boleh dibaca: unfaedah), tinggalkan. Jika nirguna (boleh dibaca: unguna), tanggalkan.
Valentine bukan budaya kita, budaya kita adalah ditinggalkan saat sedang sayang-sayangnya. Rasa sakit kok dibudayakan. Aneh. Valentine bukan budaya kita, budaya kita adalah mengisi botol sampo dengan air ketika isinya habis. Nah, itu baru oke. Irit. Hemat. Kalau perlu, air saja kausebut sampo.
Sudah, ya, Brader. Sampai di sini dulu perjumpaan kita dalam artikel nirfaedah ini. [kp]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H