Apa yang bisa kita lakukan? Memahami dan memaafkan. Dua hal itu sudah cukup.
Lihatlah bagaimana Papan berburuk sangka kepada Paku, padahal ia belum tahu bahwa Paku juga menanggung sakit dan tidak berdaya apa-apa. Lihatlah bagaimana Paku mencurigai Palu, padahal ia belum tahu mengapa Palu selalu memukul kepalanya.
Lihatlah bagaimana Paku melemparkan kesalahan kepada Palu, bahkan secara tersirat meminta Papan agar memusuhi Palu. Jika kamu marah kepada temanmu, tidak perlu kauajak temanmu yang lain untuk memusuhi atau menjauhi teman yang kaumarahi itu. Â
Temanku yang pertama marah karena temanku yang kedua menagih lewat pesan, lalu terbaca oleh istrinya, lalu ketahuan oleh mertua dan kakak iparnya. Ia tidak tahu bahwa temannya yang menagih itu sedang berjuang mati-mati mencari uang untuk mengobati anaknya.
Temanku yang kedua marah karena piutangnya dikembalikan dengan bunga berupa omelan. Ia tidak tahu bahwa temannya yang sudah membayar utang itu setengah mati mempertahankan semangat hidup, setengah mampus mempertahankan rumah tangganya, dan hampir koit karena kehilangan harga diri di hadapan mertua dan kakak iparnya.
Dua temanku itu, ajaibnya, terbawa amarah sampai-sampai lupa bahwa mereka sudah lama berteman. Mereka lupa bagaimana cara berkomunikasi yang tepat. Mereka lebih memilih jalan keluh, persis seperti Palu. Mereka lupa bahwa keluhan mungkin meringankan beban, tetapi tidak pernah bisa menyelesaikan masalah.
Andai keluhan bisa menyelesaikan masalah, Diari, pandemi korona di negeri ini akan selesai cukup dengan menggelar upacara mengeluh massal di lapangan sepakbola.
Salam takzim, Khrisna Pabichara
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI