"Terima kasih masih mau menjadi temanku," katanya. "Kalau bisa, katanya lagi, jauhilah teman kita itu. Ia tidak bisa menyimpan rahasia."Â
***
DUA orang temanku sedang aktif di Whatsapp ketika aku menulis pesan untuk mereka. Tenang, aku tidak akan mengirimkan rupa-rupa nasihat sok bijak. Aku hanya ingin berbagi kisah kepada mereka. Pertemanan itu, kautahu, berbaik sangka. Jadi, aku hanya ingin mengajak mereka agar tetap merawat berbaik sangka.
Itu pun lewat sebuah cerita, bukan melalui seruntun kalimat yang menunjukkan betapa bijaksana dan bijaksininya aku. Tidaklah. Aku hanya mengisahkan cerita yang aku lupa pada buku mana aku pernah membacanya.
Kamu mau tahu kisah itu? Baiklah. Dengarkan saja, biar kuceritakan untukmu.
Syahdan, pada suatu hari, Papan mengeluh kepada Paku. Dengan wajah pipih dan bonyok di sana-sini ia berkata, "Kamu jahat, Paku. Kamu tak punya rasa iba dan belas kasihan. Kamu lubangi dan sakiti tubuhku!"
Si Paku terkesiap. Ia mengelus-elus kepala datarnya. Ia selalu begitu setiap merasa bersalah. "Maaf jika tubuhku menyakitimu," katanya. "Hidupku juga penuh bahaya. Kadang tubuhku bengkok, kadang patah. Palu meremukkan tulang tabahku."
Si Palu terperangah. Ia ingin menyanggah, tetapi ia sadar bahwa dua sahabatnya menderita. Ia akhirnya berkata, "Aku takbisa bergerak sendiri. Maafkan aku, karena aku takmampu bergerak sendiri. Mungkin kalian sakit karena ulahku, tetapi aku ini cuma digerakkan."
***
BEGITULAH. Kita kerap berburuk sangka kepada orang lain, seperti Papan kepada Paku dan Paku kepada Palu. Kita juga sering sekali mengeluh seperti Palu. Tidak apa-apa. Itu manusiawi.
Akan tetapi, kita bisa melakukan sesuatu yang lebih baik dibanding berburuk sangka dan berkeluh kesah. Apalagi terhadap orang yang kita cintai, sahabat yang kerap bersama-sama bergelimang susah dan senang, atau rekan kerja yang sekian lama bekerja sama dengan kita.