AKU kehilangan daya penciuman. Tiba-tiba aku tidak mampu membedakan wangi parfum dan aroma ketiak. Aku kehilangan kemampuan mencecap. Lidahku takmampu membedakan manis, pahit, dan hambar. Lidahku hanya mengenal panas, hangat, dan dingin. Untunglah mataku masih mampu memastikan bahwa perempuan tercinta selalu manis. Selalu manis!
Sehari sebelumnya, aku terserang demam. Panas. Panas sekali. Kerongkonganku seperti sawah yang tujuh tahun tak disinggahi hujan. Kering. Kering sekali. Gusiku seperti bunga cicilan yang tiba-tiba membengkak. Sakit. Sakit sekali. Dadaku seperti gerbong kereta yang disesaki penumpang. Sesak banget.
Lalu kuceritakan perasaanku, penderitaanku, dan kesakitanku kepada seorang kawan. Dengan enteng, sebelum aku berkata bahwa aku merasa rapuh, dia sudah mengatakan, "Makanya kalau ke mana-mana harus hati-hati."
Ia pun berkicau tentang jaga jarak, pakai masker, rajin cuci tangan, dan anjuran lain yang ia cuplik mentah-mentah dari protokol kesehatan. Aku belum membalas apa pun, saran berikutnya sudah muncul di WA. Semula kudiamkan saja, tetapi rasa penasaran mendesak-desakku.
"Hadapi dengan tenang. Tidak semua orang yang terpapar korona akhirnya mati. Kalau sudah ajal, tanpa korona juga kamu akan mati."
Seketika kukirimkan emoji tertawa dengan setitik air di mata kiri.Â
Tidak, aku belum mengatakan apa pun, belum menanyakan apa yang akan atau harus kulakukan, belum meminta saran apa-apa, belum berharap diyakinkan soal ajal yang sudah saya tahu dari kecil bahwa ajal memang tidak bisa ditunda--dengan atau tanpa penyakit.
Aku hanya ingin mengurangi bebanku dengan menceritakan apa yang tengah kuderita. Begitu saja. Tidak lebih, tidak kurang.Â
Aku tidak perlu diingatkan bahwa penyakit apa pun tidak akan bisa merenggut nyawa jikalau belum ajal. Saat masih remaja aku sudah tahu rasanya menderita leukemia. Kala itu, kemoterapi belumlah jamak.
***
UNTUNG SAJA, aku punya perempuan yang sangat memedulikan dan menyayangiku. Perempuan yang tabah menghadapi kerewelan dan kemanjaanku. Perempuan yang tidak akan menasihatiku jika aku tidak meminta nasihat. Perempuan yang dari tatapan mataku saja ia sudah tahu apa yang aku rasakan.
Begitulah. Aku ceritakan pengalamanku ini kepadamu agar kamu tidak merasakan runtuh mental saat "diceramahi" oleh sahabatmu. Di luar sana, banyak orang yang merasa nasihat positif pasti akan mengungkit mental orang yang tengah terpuruk. Jadi, kuatkan hatimu.
Jika dadamu masih serupa kertas yang mudah koyak, telan saja deritamu. Jangan sampai engkau ceritakan kepada orang lain, orang yang kamu anggap bisa dipercaya, orang yang kamu rasa bisa menjadi teman curhat, tetapi kenyataannya membuat hatimu makin merasa buruk.
Teman seperti itu, barangkali sudah mendalami psikologi positif (Positive Psychology). Aku yakin kamu masih ingat Martin Seligman. Ya, kamu betul. Beliau menulis buku Authentic Happines. Ingatanmu tajam. Nah, temanku itu sepertinya setengah-setengah saat mengamalkan psikologi positif. Psikolog dan psikiater saja mendengarkan keluhan dulu baru memberikan saran.
Temanku itu pasti lupa bahwa positif tidak akan berarti jika negatif tidak ada. Aku tahu seperti tenteram hati jika sedang berbahagia sebab aku pernah merasakan alangkah risau hati tatkala berduka.
Temanku yang lain pernah berkata begini, "Kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda." Saat itu, antologi puisiku ditolak oleh delapan penerbit. Beruntung saat itu aku masih muda, jadi congorku masih sering kehilangan timbangan. Aku jawab, "Kegagalan adalah kesuksesan yang batal terjadi."
Tadi pagi ia mencoba menghamburkan kalimat positif beracun lagi, tetapi tidak kuindahkan. Aku hanya mengatakan kepadanya bahwa nasihat agar selalu bersikap dan berpikir positif dapat menjadi racun. Sudah. Itu saja.Â
***Â
BEGITULAH. Banyak orang yang tidak menyadari bahwa nasihat positif suatu ketika dapat menjadi racun. Orang-orang sering menyebutnya toxic positivity. Ya, aku banyak menerima saran seperti itu belakangan ini. Apalagi harus meringkuk di ranjang lagi karena terkena tipes.
Psikologi positif berbeda dengan positivitas beracun. Yang pertama mengandung obat, yang kedua mengandung bisa. Yang pertama dapat menyembuhkan, yang kedua bisa mematikan. Yang pertama berlatar keilmuan, yang kedua berdasarkan kesoktahuan.
Benar, dorongan agar terus berpikir positif memang diperlukan, tetapi perhatikan kondisi hati orang yang akan dinasihati. Jangan sampai saran untuk mengambil sisi positif dari suatu kejadian justru menambah-nambah derita. Semacam menyiram luka dengan cuka.
Kamu jangan begitu, ya. Aku suka gayamu seperti ini: mendengarkan sebelum menyarankan, menyimak sebelum menasihati.Â
Tetaplah seperti itu, Diari.
Pemuja Rindu, 10 Februari 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H