Jika dadamu masih serupa kertas yang mudah koyak, telan saja deritamu. Jangan sampai engkau ceritakan kepada orang lain, orang yang kamu anggap bisa dipercaya, orang yang kamu rasa bisa menjadi teman curhat, tetapi kenyataannya membuat hatimu makin merasa buruk.
Teman seperti itu, barangkali sudah mendalami psikologi positif (Positive Psychology). Aku yakin kamu masih ingat Martin Seligman. Ya, kamu betul. Beliau menulis buku Authentic Happines. Ingatanmu tajam. Nah, temanku itu sepertinya setengah-setengah saat mengamalkan psikologi positif. Psikolog dan psikiater saja mendengarkan keluhan dulu baru memberikan saran.
Temanku itu pasti lupa bahwa positif tidak akan berarti jika negatif tidak ada. Aku tahu seperti tenteram hati jika sedang berbahagia sebab aku pernah merasakan alangkah risau hati tatkala berduka.
Temanku yang lain pernah berkata begini, "Kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda." Saat itu, antologi puisiku ditolak oleh delapan penerbit. Beruntung saat itu aku masih muda, jadi congorku masih sering kehilangan timbangan. Aku jawab, "Kegagalan adalah kesuksesan yang batal terjadi."
Tadi pagi ia mencoba menghamburkan kalimat positif beracun lagi, tetapi tidak kuindahkan. Aku hanya mengatakan kepadanya bahwa nasihat agar selalu bersikap dan berpikir positif dapat menjadi racun. Sudah. Itu saja.Â
***Â
BEGITULAH. Banyak orang yang tidak menyadari bahwa nasihat positif suatu ketika dapat menjadi racun. Orang-orang sering menyebutnya toxic positivity. Ya, aku banyak menerima saran seperti itu belakangan ini. Apalagi harus meringkuk di ranjang lagi karena terkena tipes.
Psikologi positif berbeda dengan positivitas beracun. Yang pertama mengandung obat, yang kedua mengandung bisa. Yang pertama dapat menyembuhkan, yang kedua bisa mematikan. Yang pertama berlatar keilmuan, yang kedua berdasarkan kesoktahuan.
Benar, dorongan agar terus berpikir positif memang diperlukan, tetapi perhatikan kondisi hati orang yang akan dinasihati. Jangan sampai saran untuk mengambil sisi positif dari suatu kejadian justru menambah-nambah derita. Semacam menyiram luka dengan cuka.
Kamu jangan begitu, ya. Aku suka gayamu seperti ini: mendengarkan sebelum menyarankan, menyimak sebelum menasihati.Â
Tetaplah seperti itu, Diari.