"Masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik, masukan, atau potensi maladministrasi. Para penyelenggara layanan publik juga harus terus meningkatkan upaya perbaikan-perbaikan."
Demikianlah permintaan Presiden Jokowi kepada seluruh rakyat Indonesia. Permintaan yang apik, rancak, dan patut dipenuhi. Teman bermain atau bercengkerama saja yang meminta sesuatu dan kita punya, tentulah kita akan memenuhinya dengan senang hati. Apalagi Presiden Jokowi yang meminta, sangat layak kita penuhi.
Permintaan itu beliau sampaikan pada Peluncuran Laporan Tahunan Ombudsman RI Tahun 2020, (Senin, 8/2/2021), melalui tayangan di kanal Youtube Ombudsman. Itu bukanlah basi-basi, bukan juga upaya menyenang-nyenangkan hati rakyat yang beliau pimpin, bukan. Itu permintaan resmi, disampaikan dalam acara resmi, dan memakai simbol-simbol kenegaraan.
Apakah rakyat akan berlega hati dan dengan senang hati mengkritik pemerintah? Belum tentu. Sekalipun ingatan jangka panjang masyarakat sering galat, masyarakat pintar memanfaatkan jejak digital. Masyarakat mahir belajar dari kejadian-kejadian yang pernah terjadi.
Tidak heran apabila permintaan RI-01 ditanggapi sedikit sinis. Mohon maaf, kata sedikit saya pilih untuk menghindari jemputan polisi. Tidak heran pula jika banyak pihak yang kurang memercayai seruan itu. Mohon maaf lagi, kata kurang saya pilih agar terhindar dari kemarahan pendengung rupiah alias buzzer-Rp. Harap dimaklumi.
Dalam rentang puluhan jam, permintaan Presiden Jokowi wira-wiri di media sosial. Warganet pun menunjukkan tanggapan beragam. Pro dan kontra bermunculan. Juru pro menyebut permintaan beliau sebagai "pintu gerbang kenyamanan berpendapat", tukang kontra menduga permintaan beliau sebagai pemanis bibir belaka.
Kasus terbaru yang mungkin bisa saya ajukan adalah tatkala Kwik Kian Gie menyodorkan kritik soal utang negara. Beliau tidak sekadar memberikan kripik pedas, maksud saya kritik pedas, tetap saja beliau mendapat gempuran caci maki dari anggota pasukan berani mati pembela pemerintah.
Maka dari itu, saya pikir, saya perlu mengutarakan gundah hati di sini.Â
Kritik dan masukan seperti apa yang Presiden Jokowi inginkan? Jikalau butuh kritik konstruktif atau masukan yang membangun, bagaimana kriterianya? Jikalau butuh kritik santun dan masukan yang arif, seperti apa modelnya?
Ini penting, sebab ada sosok "hantu" bernama Pasal Karet dalam UU ITE yang siaga 24 jam untuk mengawasi dan mengintai masyarakat. Jangan-jangan seusai menyorong kritikan dan masukan, masyarakat digelandang dan diterungku karena si Pasal Karet itu.
Faktanya, sudah banyak rakyat yang ditangkapi dan dijebloskan ke dalam bui. Silakan saja ketik kalimat kunci di mesin pencari di internet seperti ini.
- Kritik Presiden lewat media sosial ....
- Pengkritik Jokowi ....
- Ditangkap akibat kritik Jokowi ....
- Ditangkap setelah kritik Jokowi ...
- Ditangkap karena kritik pemerintah ...
Saya sengaja menganjurkan Anda untuk menguji sendiri bagaimana nasib pengkritik pemerintah, termasuk para pengkritik Presiden Jokowi, supaya Anda dapat mengulik dan mendalaminya sendiri. Artinya, ada lubang menganga yang dapat membuat rakyat Indonesia terperosok ke sana jikalau nekat mengkritik pemerintah. Riskan!
Lubang menganga itu bernama Pasal Karet. Alamatnya di gang melar bernama UU ITE. Lubang di gang melar itu begitu menganga. Ada dua pula. Pertama, Pasal 27 ayat (3) tentang penghinaan dan pencemaran nama baik. Kedua, Pasal 28 ayat (2) tentang ujaran kebencian.
Dua pasal karet itu dapat dengan mudah disalahartikan atau disalahgunakan oleh banyak pihak untuk melaporkan seseorang yang mengkritik pemerintah, apalagi mengkritik Pak Jokowi. Pelapor dan penegak hukum bisa seenak dan sekehendak hati menuduh rakyat dengan dakwaan "penghinaan", "pencemaran nama baik", dan "menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan".
Jadi, kritik dan masukan seperti apa yang Pak Jokowi inginkan?Â
Jikalau kritik yang berisi kelebihan atau prestasi pemerintah, lalu digoreng pelan lewat saran, lebih baik meminta pujian saja. Ambil contoh: Pemerintah sudah melakukan yang terbaik, hanya perlu sedikit perbaikan. Siapa yang mau mendengar kritikan selembut itu? Tidak ada. Kritik basi, tenaga percuma.
Berikut ini tiga kontradiksi kritik yang kerap terjadi belakangan ini.
Kritik santun diabaikan, kritik keras terkena pasal. Kritik santun dianggap penghinaan, kritik keras disangka makar. Jika sudah begitu, barangkali yang tepat adalah keripik: renyah dan gurih sekalipun belum tentu mengenyangkan.
Orang kecil mengkritik pemerintah: didengar kagak, ditangkap iya. Apalagi kalau orang kecil itu berdiri di tempat yang berseberangan dengan posisi pemerintah. Pak Jokowi mungkin santai saja, pendukung beliau yang senewen dan main lapor. Sedikit-sedikit polisi, sedikit-sedikit meja hijau.
Bayangkan bagaimana kritik dan masukan terpaksa Anda telan sendiri, lantaran ketika membuka aplikasi perpesanan, Anda membaca kiriman dari sosok bernama UU ITE. Katanya, "Pelan-pelan, Brader, saya tetap memantau Anda."
Kebebasan berbicara dijamin, setelah berbicara tanggung sendiri. Kebebasan kita dijamin saat mengeluarkan pikiran, pendapat, saran, ataupun kritikan, tetapi kebebasan setelah berbicara belum ada garansi akan dijamin tetap aman.
Bayangkan apa pun kritik dan masukan yang ingin Anda sampaikan tertahan di tenggorokan, sebab Anda melihat di seberang jalan satu sosok mengerikan bernama UU ITEÂ sedang berdiri, melambaikan tangan, dan tersenyum ke arah Anda.
Presiden minta masukan, pendengung rupiah melaporkan. Presiden meminta masyarakat agar aktif memberikan kritikan dan masukan, pendengung rupiah (baca: buzzer-Rp) meminta polisi agar aktif menjemput dan menangkap pengkritik.
Jadi, bayangkan Anda sedang ingin mengkritik pemerintah, termasuk Presiden Jokowi, lalu tiba-tiba sosok asing berdiri di depan Anda sambil berkata, "Perkenalkan, saya Pasal Karet. Rumah saya di jalan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik!"
Itulah tiga kontradiksi kritik yang kerap terjadi belakangan ini. Tidak heran jika sentilan acapkali bermunculan di media sosial seperti (1) Dengarkan apa yang dikatakan oleh Pak Jokowi, lalu lihat sebaliknya; dan (2) Habis mengkritik terancam masuk penjara.
Apabila Pak Jokowi bersungguh-sungguh ingin memperbaiki atmosfer kebebasan berpendapat agar kran kritikan dan masukan tidak tersumbat, Presiden sendiri yang mesti turun tangan. Ajukan revisi UU ITE ke DPR. Rancang undang-undang yang lebih ramah terhadap kebebasan berpendapat.
Dalam hemat saya, memang beberapa pengkritik menggunakan bahasa yang tidak santun dan kasar, tetapi itu bukan alasan untuk menjebloskan mereka ke dalam penjara. Presiden maupun pejabat publik lainnya tidak dipilih untuk mengirim rakyatnya ke dalam penjara.
Sebagai penutup, izinkan saya kutip penggalan pidato pertama Abu Bakar Ash-Shiddiq seusai dibaiat menjadi Khalifah.
"Saudara-saudara, kalian telah memercayakan aku untuk menjadi pemimpin kalian, padahal aku bukanlah orang yang terbaik di antara kalian. Jika aku berbuat baik, bantulah aku. Jika aku berbuat salah, luruskanlah aku."
Salam takzim, Khrisna Pabichara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H