Presiden minta masukan, pendengung rupiah melaporkan. Presiden meminta masyarakat agar aktif memberikan kritikan dan masukan, pendengung rupiah (baca: buzzer-Rp) meminta polisi agar aktif menjemput dan menangkap pengkritik.
Jadi, bayangkan Anda sedang ingin mengkritik pemerintah, termasuk Presiden Jokowi, lalu tiba-tiba sosok asing berdiri di depan Anda sambil berkata, "Perkenalkan, saya Pasal Karet. Rumah saya di jalan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik!"
Itulah tiga kontradiksi kritik yang kerap terjadi belakangan ini. Tidak heran jika sentilan acapkali bermunculan di media sosial seperti (1) Dengarkan apa yang dikatakan oleh Pak Jokowi, lalu lihat sebaliknya; dan (2) Habis mengkritik terancam masuk penjara.
Apabila Pak Jokowi bersungguh-sungguh ingin memperbaiki atmosfer kebebasan berpendapat agar kran kritikan dan masukan tidak tersumbat, Presiden sendiri yang mesti turun tangan. Ajukan revisi UU ITE ke DPR. Rancang undang-undang yang lebih ramah terhadap kebebasan berpendapat.
Dalam hemat saya, memang beberapa pengkritik menggunakan bahasa yang tidak santun dan kasar, tetapi itu bukan alasan untuk menjebloskan mereka ke dalam penjara. Presiden maupun pejabat publik lainnya tidak dipilih untuk mengirim rakyatnya ke dalam penjara.
Sebagai penutup, izinkan saya kutip penggalan pidato pertama Abu Bakar Ash-Shiddiq seusai dibaiat menjadi Khalifah.
"Saudara-saudara, kalian telah memercayakan aku untuk menjadi pemimpin kalian, padahal aku bukanlah orang yang terbaik di antara kalian. Jika aku berbuat baik, bantulah aku. Jika aku berbuat salah, luruskanlah aku."
Salam takzim, Khrisna Pabichara